Mantan

Bentang Pustaka
Chapter #3

Beberapa hal baik terjadi kemarin dan kita menyebutnya kenangan

“Hei, mahasiswa baru!” Seorang pria yang terlihat menarik dengan jaket HIMA-nya menyapa tepat ketika kakiku menyentuh pelataran kampus.

“I … iya, Kak.” Aku menjawab dengan ragu bercampur takut. Bukan rahasia lagi kalau mahasiswa baru selalu mendapat perlakuan iseng dari para senior. Parahnya, aku sama sekali enggak mengenal wajah senior yang menyapaku ini. Mati!

“Dari Jakarta, yo? Cuma mahasiswa asal Jakarta yang manggil ‘Kak’,” dia menjawab santai sambil mengisap rokoknya nikmat. Apa, sih, enaknya rokok itu?

“Bukan, aku dari Bandung.” Tuhan! Kenapa aku mengoreksinya, sih? Bisa-bisa keisengannya berlipat ganda. Mati! Mati! MATI!

Tuhan, tolong aku!

“Bandung, tho.” Dia mengembuskan asap rokoknya. “Pantesan, ayu.”

Heh?! Aku melongo mendengar ucapannya, tapi cuma sedetik sebelum akal sehatku menyuruhku untuk kabur secepat mungkin. “Aku permisi dulu, Kak. Aku buru-buru, udah telat.”

“Mau ke mana buru-buru? Kuliah? Tenang aja, aku enggak bakalan ngisengin kamu, kok.” Dia kembali mengisap rokoknya sambil tersenyum dan aku menyumpah dalam hati karena dia seperti bisa membaca pikiranku. “Asal kamu tahu, angkatanmu di atas lagi dikerjain. Terserah, sih, kalau kamu mau naik dan dikerjain atau nemenin aku di sini.”

“Eh?!” Aku semakin bingung. Sebenarnya apa, sih, maunya cowok ini?!

“Iya.” Senyumnya masih mengembang sempurna. “Mau diisengin dan diteriak-teriakin senior di atas atau mau duduk nemenin aku di sini? Kamu tinggal pilih.”

“Er, pilihannya cuma itu?” Ya Tuhan! Kenapa pada saat seperti ini mulutku harus mengeluarkan pertanyaan ajaib gini, sih? Ini, mah, cari mati namanya!

Di luar dugaanku, bukannya terlihat kesal, dia malah terbahak sambil bangun dari duduknya. “Kamu lucu.” Dia mengulurkan tangannya. “Danang, anak mesin. Kamu?”

“HAH?! Mesin?! Jadi … jadi kamu bukan anak arsitektur?! Bukan senior aku, dong?!” Bodoh! Kenapa aku lupa dengan warna jaket HIMA jurusanku sendiri?! Kalau dia seniorku, seharusnya dia mengenakan jaket HIMA berwarna hijau tosca, bukan merah seperti yang dikenakannya sekarang! Bodoh!

Bukannya menjawab pertanyaanku, dia malah kembali terbahak. “Bukan. Memangnya tadi aku bilang kalau aku senior kamu?” Dan, sekarang dia mulai menggodaku. “Nama kamu?”

Aku memutar bola mataku. “Ogah kenalan sama orang iseng!” aku berteriak kesal dan berlari meninggalkannya. Sebodo banget, deh, dia mau ngapain! Huh! Aku jadi makin telat, kan?!

Pertemuan pertamaku dan Danang. Bukan jenis pertemuan yang romantis, bahkan aku sudah melupakan kejadian itu ketika aku enggak sengaja kembali bertemu dengannya. Dia cukup keras kepala untuk berkenalan denganku.

Awalnya aku ragu untuk mengizinkannya masuk ke kehidupanku, tapi aku enggak bisa bohong kalau aku sebenarnya kesepian di kota ini, jauh dari keluarga dan sahabat. Teman adalah yang paling aku butuhkan saat ini dan sejak itu dia mulai mendominasi hidupku.

Aneh rasanya mengingat aku enggak pernah membiarkan seseorang masuk ke kehidupanku dengan proses sesingkat ini. Tapi, Danang berbeda. Dia tipe pria gentlemen dan perhatian. Dua sifat yang membuatku luluh. Aku mulai menikmati kebersamaanku dengannya. Danang tidak cuma teman, dia juga sahabat sekaligus kakak yang melindungiku.

Kami sering menghabiskan weekend bersama dengan berkeliling dan menjelajah kota ini. Mas Danang, dia menyuruhku memanggilnya ‘Mas’ karena dia enggak terbiasa dipanggil ‘Kak’, enggak cuma mengajakku ke tempat-tempat hip atau mal. Dia juga sering mengajakku ke berbagai sudut kota.

Aku enggak pernah membayangkan hunting foto di makam Belanda tua yang terletak di Peneleh sampai bangunan berarsitektur kolonial di sekitar Jembatan Merah. Mulai dari piknik di kebun binatang kota sampai belajar sejarah perjuangan di Tugu Pahlawan. Setiap kali aku tanya alasannya mengajakku, jawabannya selalu sama. Dia selalu mengingatkanku kalau aku harus mengenal kota ini karena sampai empat tahun ke depan aku akan menghabiskan hari-hariku di kota ini.

Dan, aku semakin menikmati kebersamaan kami karena dia juga mengajakku mencicipi berbagai kuliner khas kota ini. Cukup enam bulan bersama dengannya, aku mulai berubah menjadi penduduk kota ini. Aku tahu tempat makan rujak cingur sampai rawon yang enak banget, juga warung bebek goreng atau lontong balap. Aku mulai mencintai kota ini dan enggak pernah lagi merasa kesepian. Aku punya Mas Danang. Dia selalu ada. Selalu.

“Nanti malam ada acara, La?” Mas Danang langsung bertanya ketika aku menghampiri sambil membuka kunci pintu pagar indekos.

“Anak-anak kos ngajak jalan, Mas. Kata mereka di Galaxy Mall lagi ada diskon besar-besaran,” aku menjawab sambil membuka pintu pagar agar dia bisa memarkirkan motornya di dalam. Daerah indekosku mulai enggak aman.

“Kamu keluar bareng aku aja, ya?” Dia menuntun motornya dan memarkirkannya tepat di depan pintu kamarku.

Lihat selengkapnya