"Sekarang siapa lagi, Sil?" tanya Hanin. Sisil membuang selembar kertas ke tong sampah yang ada di pojok kelas. Dia hanya mengangkat bahunya enggan. Ini yang kesekian kalinya selembar kertas berisi surat cinta berada di mejanya. Siapa pula yang jaman sekarang masih nulis surat buat ungkapin perasaan?
"Lu sih, pake bilang suka sama hal-hal yang menyentuh hati. Semacam saling kirim surat sama orang yang kita suka." kata-kata Hanin menohok membuat Sisil menghela napas kesal. Dia menampar pipinya pelan.
"Iya, salah gue!"
Hanin terkikik geli. Namun tiba-tiba saja raut wajahnya berubah menjadi datar dan pura-pura sibuk membalik halaman buku pelajaran. Bulu kuduk Sisil langsung berdiri merasakan kehadiran seseorang.
"Kaf! Bisa tolong kalau dateng ke kelas jangan bikin gue merinding?" Sisil menatap tajam sosok yang sedang menaruh tasnya di loker dan berjalan santai melewatinya.
"Kenapa? Aura ketampanan gue bikin lu merinding?" Kafka sarkas.
"Lupain deh! Anggap kita nggak kenal!"
Sisil duduk di samping Hanin setelah kakinya menginjak kaki teman sebangkunya itu.
"Lain kali jangan pacaran sama anak kelas dong. Bikin suasana jadi horor aja," desis Sisil membuat Hanin mencubit lengannya.
"AW!"
Suasana kelas mulai ramai. Satu persatu siswa berdatangan. Bukan karena rajin, tapi pelajaran pertama hari ini yang membuat mereka semua enggan terlambat. Matematika. Sisil tahu betul rasanya dimaki-maki di depan kelas hanya karena dia terlambat dan tidak bisa mengerjakan soal di papan tulis. Jaman sekarang harusnya hal seperti itu sudah dilaporkan ke KOMNAS Perlindungan Anak. Mana ada guru yang mengatakan bahwa muridnya bodoh hanya karena tidak bisa mengerjakan soal. Tahun berapa ini?
"Sisil!" panggil Bu Lidya. Sisil memijat keningnya.
"Jangan lagi ya Tuhan," gerutunya.
"Kerjakan nomor 12 di depan!" Perintah yang tidak dapat dilawan. Sisil mengangkat tubuhnya dengan berat.
"Semangat," bisik Hanin.
Cewek cantik itu berjalan gontai disertai cekikikan dari beberapa teman sekelasnya.
"Untuk nomor 13, ada yang bisa mengerjakan?" tanya Bu Lidya.
Kafka mengangkat tangan. Seluruh kelas tertegun. Sebentar, Sisil saja yang termasuk salah satu siswa yang memiliki skill dan poluler, dibabad habis oleh Bu Lidya. Apalagi Kafka yang invisible. Hanin mendadak gugup melihat kedua manusia yang sedang berdiri di depan kelas sembari memegang spidol bersiap untuk mengerjakan soal.
"Jangan sampe habis ini Bu Lidya ngundurin diri karena nggak mampu menangani bocah dua itu," gumam Hanin pasrah.
***
Sisil dan Hanin menatap iba kepada Kafka yang sedang dijemur di tengah lapangan. Cowok itu hanya tahu menyanyi seumur hidupnya. Kekejaman macam apa yang membuatnya berani mengangkat tangan dan harus mengerjakan soal matematika yang sulitnya ampun-ampunan. Beberapa teman nge-bandnya terlihat mendekat membawakan cemilan.
"Gue masih nggak ngerti apa yang lu suka dari Kafka? Aneh banget orangnya," gerutu Sisil di telinga Hanin.