Bukan tiba-tiba Kafka dianggap invisible di kelas. Dia yang bersinar di atas panggung, berbanding terbalik dengan nilai pelajarannya. Sudah diinfokan sebelumnya, bahwa Kafka memang tidak pintar. Kafka berusaha sekuat tenaga untuk tidak terlihat di jam pelajaran. Dia tidak banyak bicara dan bersikap layaknya siswa normal lainnya. Namun sejak kabar putusnya dengan Hanin, dia selalu mengangkat tangannya jika ada guru yang meminta perwakilan untuk mengerjakan soal atau mengumpulkan tugas. Dia meyakini bahwa meskipun fungsi otaknya hanya 1 persen yang terpakai, dia masih lebih baik daripada Yogi untuk menjadi pacar Hanin.
Seperti hari ini, dia diberi kehormatan untuk berdiri di depan kelas selama jam pelajaran. Dia mengangkat tangan saat Bu Lidya memintanya mengerjakan soal yang sama seperti minggu lalu. Namun Kafka masih tidak menguasainya. Acungan tangan Kafka jadi dianggap ledekan bagi guru matematika itu. Hanin dan Sisil hanya bisa geleng-geleng kepala.
"Kalian bisa pinteran dikit nggak sih? Kalau merasa bodoh, belajar lebih giat dong," omelan Bu Lidya dimulai. Kata-katanya sangat menusuk karena memang fakta.
"Cepat buka halaman 25. Perhatikan penjelasan saya."
Dua jam yang melelahkan akhirnya berakhir. Bel penyelamat menjadi kesayangan seluruh siswa. Bu Lidya melenggang keluar kelas diiringi helaan napas lega dari siswa yang telah dihukum. Hanin berjalan tergesa menghadang Kafka yang hendak keluar.
"Aku udah bilang ke kamu untuk berhenti, kan. Kenapa masih cari gara-gara," berondong Hanin. Sisil yang sama terkejutnya dengan Kafka, menggiring siswa yang ada di kelas untuk segera keluar dan menghentikan beberapa yang sudah siap merekam kejadian di depan mata. Setelah berhasil mengeluarkan semua orang, Sisil menutup pintu kelas dan duduk di meja dekat pintu menunggu Hanin selesai bicara kepada Kafka.
"Siapa yang cari gara-gara?"
"Kamu kenapa pukul Yogi?"
"Hah! Banci itu ngadu ke kamu?"
"KAF!"
Suara Hanin bergetar seperti akan menangis. Sisil bangkit khawatir. Dia tidak pernah melihat Hanin semarah itu. Begitu juga dengan Kafka. Air mukanya berubah drastis. Cowok itu ciut. Ekspresinya mendadak sangat muram.
"Aku cuma nggak mau kita putus," lirih Kafka. "Kamu cukup jelasin kenapa harus jalan berdua sama Yogi, setelah itu kita bisa sama-sama lagi. Bukan putus."
"Justru itu, aku nggak bisa jelasin dan lebih baik kita putus," Hanin terduduk lemas di bangku ketua kelas. Melihat Hanin seperti itu, Kafka menyerah. Dia tidak tega. Kakinya melangkah keluar kelas melewati Sisil. Tak lama kemudian, Hanin menangis. Sisil buru-buru mendekat dan memeluk temannya itu. Entah apa yang terjadi, tapi pasti sangat berat untuk keduanya. Dia hanya bisa menepuk-nepuk lembut bahu Hanin mencoba menenangkan cewek yang sedang kalap itu.
***
"Serius kenapa kalian terdampar di sini?" Jojo menyilangkan tangannya. Masih tak habis pikir melihat Sisil dan Hanin yang menjadikan ruang osis sebagai tempat persembunyian mereka.
"Sorry, Jo. Habis di kantin ada Kafka. Terus di kelas banyak anak-anak. Pasti heboh banget kepo sama kejadian tadi," jelas Sisil. Jojo kembali menghela napas. Dia berusaha memaklumi keduanya karena rasa sukanya terhadap Sisil.