"Beneran nggak mau ditemenin ke panti?" tanya Hanin yang masih khawatir karena Sisil ikut terseret masalah yang tak perlu. Sisil menggeleng.
"Lu pulang aja. Pasti capek," jawab Sisil.
"Oya kata Bu Karina, Yogi belum bisa ikut pelayanan hari ini soalnya kondisinya masih belum membaik," ucap Hanin setengah hati.
"Iya, tadi Jojo udah chat juga."
"Gue duluan ya..."
Hanin berjalan menjauh dari gerbang dan melambaikan tangan pada Sisil. Cewek itu membenarkan tali sepatunya yang lepas. Jojo terlihat berlari ke arahnya.
"Sil." Jojo menepuk bahu Sisil pelan. "Hanin udah pulang?"
Sisil mengangguk dan menepuk rok sekolahnya.
"Gue naik bus aja ya ke panti. Mama nggak kasih ijin motoran sama lu soalnya lokasi pantinya terlalu jauh dari sini," ucap Sisil.
"Ya udah bareng. Gue hari ini nggak bawa motor kok. Nyokap nggak kasih ijin soalnya kemaren balik babak belur." Jojo meringis. Sisil tertawa membayangkan mama Jojo yang memarahi anaknya karena terlibat perkelahian di sekolah. Padahal Jojo merupakan ketua osis dan salah satu siswa kebanggaan Harapan Bangsa.
Sisil dan Jojo berjalan menuju halte bus. Sepasang langkah kaki tiba-tiba mensejajarkan diri di samping Sisil. Cewek itu menengok diikuti oleh tatapan sinis Jojo.
"Bukannya lu masih belum pulih?" tanya Jojo sarkas. Sisil diam saja. Dia masih kesal kepada kedua cowok yang sedang berjalan menghimpit tubuhnya. Gara-gara mereka, Sisil harus menghabiskan waktu berharganya sepulang sekolah untuk melakukan pelayanan masyarakat. Padahal waktunya untuk nonton film, baca novel, dan mengerjakan PR sangat sedikit.
"Coba aja adu jotos lagi di depan gue," desis Sisil menahan amarahnya. Jojo dan Yogi langsung ciut dan menutup mulutnya rapat-rapat.
***
Sisil menjatuhkan tubuh di atas kasurnya yang empuk. Membantu para pengurus panti untuk menyiapkan makanan anak-anak, membersihkan seluruh kamar yang ada di panti asuhan dan ikut membantu para guru yang disiapkan untuk mengajar anak-anak sebelum mereka belajar di sekolah formal membuat tenaganya habis terkuras. Dia tidak bisa membayangkan harus melakukan hal itu selama seminggu penuh.
"KESEL BANGET! AWAS AJA TUH BOCAH BERDUA!" teriak Sisil.
Mendengar teriakan putrinya, mama buru-buru masuk ke kamar dan mendapati Sisil sedang menelungkup tak bergerak.
"Sisil, buka dulu dong seragamnya. Mandi, ganti baju, terus baru tidur. Kenapa sih malah teriak-teriak?"
"MA! Bener-bener nggak adil. Aku cuma bantu melerai mereka kenapa aku ikut kena hukuman? Yang kayak gini nih bikin kita tumbuh jadi pribadi yang males ikut campur sama urusan orang nggak peduli sama sekitar," ceracau Sisil benar-benar merasa terkena masalah karena hal yang tidak dia lakukan.
Mama tertawa dan duduk di samping Sisil yang tak bergerak meskipun suaranya nyaring marah-marah. Tangan mama mulai memijat kaki putri bungsunya itu.
"Coba pikirin lagi. Mungkin kepala sekolah kamu tahu kalau cuma anak berdua itu yang dihukum, bisa-bisa mereka bakalan makin menjadi-jadi di luar sana. Nah, berhubung kamu yang bisa melerai mereka, kepala sekolah jadi ikut menyertakan kamu."
Sisil terdiam. Dia langsung membalik tubuhnya.
"Emang begitu, Ma?"