Mantikei dan Sang Panglima Rangkong Gading

Foggy F F
Chapter #2

Belantara Rimba

Mantikei

Masa Kini.

Beberapa tahun hidup di pedalaman, kesepian membuktikan kekuasaannya dengan menjadikanku manusia pengabdi alam. Aku yang hidup dikelilingi pekik monyet, riuh jangkrik dan aliran sungai yang tak pernah surut, kini menundukkan diri pada kekuasaan alam semesta. Aku yang bertahan hidup di bawah rimbun kanopi hutan tepi sungai, akhirnya sanggup mengelola rasa kehilangan dan duka cita, menjadi benih kesahajaan dan pengabdian yang paripurna.

Rutinitas sebagai manusia modern pernah menyilaukanku, dengan bertahan hidup mengikuti ritme masyarakat urban lainnya. Menghamba pada waktu layaknya mesin, lantas terasing dalam persaingan dan dunia pekerjaan. Pagi bertemu pagi, materi bersua tuntutan gaya hidup, demi menyepakati asumsi kolektif bahwa harta adalah segalanya. Namun, apa yang kudapat? Selain deraan keterasingan dan tuntutan entitas bernama uang, sisanya adalah rasa cemas yang mencekik.

“Kopinya, Akak (Kakak).” Nanjan menyodorkan segelas kopi pekat, wanginya menyatu dengan bau daun tertiup angin. “Nginom (Minum) dulu, mumpung masih panas.” 

Aku mengangguk, sambil mengucek mata. “Makasih, Jan.” 

Kantuk masih lengket di kelopak mata, meski sejam lalu aku sudah terjaga. Rasanya, mulut ini masih asam dan tebal –dilapisi lemak malam– sejak minum aren fermentasi yang disuguhkan Ambara Lawinei, ibunya Nanjan. Ada rasa enggan untuk memulai hari, mungkin karena mimpi buruk semalam, yang berkali-kali membuat badan bermandikan keringat. 

Asap mengepul dari cangkir dengan amat memikat. Wangi biji Singkawang menggelitik bulu-bulu hidung. Inilah kopi yang aku cari. Setelah bertahun-tahun lidahku mencecap pemanis buatan kedai-kedai ibu kota, akhirnya merasakan juga lezatnya kafein sungguhan. 

Pekik monyet bergelayutan di akar menjuntai, membuatku terkaget-kaget. Mereka bermain di teras kabin, dengan tangan mengayun dan kaki mengokang, mengampul sambil mengagetkanku. Mengganggu ritual pagi para peneliti, yang seharusnya sudah mulai mengumpulkan data pantauan, menandai setiap cagar area pemindaian. Bukan kali ini saja, wajah-wajah lugu itu kulempari biji ara. Salah satu dati hewan itu menjerit, akhirnya semua bubar karena sebal padaku. 

Dari belakang, Nanjan terkekeh. Ia tenyata masih berdiri di tempatnya tadi, sambil menyilangkan tangan di dada yang tebal. “Enak kopinya?”

Aku mengangguk. Hhh… sungguh wangi kopi pagi ini berhasil memancing ribuan kenangan di kepala. Pada masa laluku di balik meja kerja; kertas-kertas yang tertumpahi percikan kopi; musik metal yang memekakkan telinga; dan pada deadline yang mencekik tetapi punya adiksi. Masa lalu “Kei si manusia kota”.

“Mau sarapan apa, Akak?” 

“Memangnya ada pilihan?”

Nanjan diam, lalu kembali tergelak dengan senyum Dayak mautnya itu. Nanjan mengangkat bahu sambil berlalu, ia terkekeh. Nanjan meralat tawarannya, yang beberapa detik lalu terdengar menggiurkan. Sarapan, satu dari sekian kemewahan yang bisa aku dapatkan di belantara ini, tanpa banyak tawar menawar. 

“Oh, ya. Besok kita akan kedatangan tamu dari kota.” Nanjan kembali, ia melongokkan kepalanya di celah pintu. "Ia mau ketemu Akak."

“Dari mana?”

“Jawa.” 

Aku memicingkan mata. Satu persatu deretan nama hinggap di kepalaku –dari yang paling mungkin hingga yang nyaris sinting. Berbagai kemungkinan, orang-orang yang mau mengunjungiku di belantara antah berantah begini. “Sudah disiapkan kamar?”

“Sebelah dirimu, Akak. Tamunya perempuan, tak baik kalau ia dekat-dekat denganku.” Nanjan tersipu dengan suara parau.

“Kenapa tak baik?”

Ia menggeleng, lalu mengangkat satu tangannya, menghindari interogasi. “Ka pulai dulu ke rumah Indai. (Saya mau pulang ke rumah Ibu)” 

Rasanya, ada hentakan staccato di dada, nyaris tak terdengar tetapi punya efek mematikan. Diakah? Perempuan yang dulu pernah menyulam air mataku karena penderitaannya, perempuan yang menoreh sejarah dan bertumbuh bersamaku hingga dewasa, lantas mengajari bagaimana cara melepaskan diri dari duka.

***

Langit membentang kini berwarna emas, tertutupi lebat vegetasi dedaunan yang menutup sempurna. Dari celah antar daun, menyembul sinar hangat menyentuh kulit bahuku -rasanya nyaman- tak seterik siang tadi. Mungkin, karena sebentar lagi malam tiba, seluruh permukaan hutan akan berubah menjadi gelap, nyaris tak kelihatan kecuali sinar bulan yang menyembul di celah-celah kanopi dedaunan.

Lihat selengkapnya