Sachita
Sebuah Titimangsa di Masa Lalu.
Aktivitas manusia di kubikelku, sudah mulai terasa kebangsatannya saat makin siang, masing-masing menyumpah dan main gebrak meja. Mereka bilang kami ini perekam berita, makhluk-makhluk pilihan yang teruji independensi-nya. Semua baru kelar semedi di depan desktop sepanjang malam tadi. Bisa dipastikan, beberapa bau ketek dan belum mandi. Rutinitas edit foto, edit redaksional, sampai layout materi cetak untuk besok, siap direbus di kuali rapat. Terus, mana dia? Kenapa belum tampak batang hidungnya?
Danila menoleh, ketika aku banting asbak di meja. Ia langsung buang muka, sadar kalau yang sedang marah-marah adalah orang yang sudah biasa mengumpat. “Kenapa lagi, Mbak?”
“Hmm, biasa.” Aku meringis.
Danila cuma terkekeh, ia menyeruput sesuatu dengan bola-bola hitam di gelas plastiknya.
Majalah kami, ada di antara kategori jurnal ilmiah dan majalah populer. Sama sekali tak aneh, kalau di kantorku tak ada yang perlente, mereka adalah abang-abang berkalung kartu pers yang sukanya menghabiskan jatah kopi bulanan di pantry. Penampakan orang-orang sini lebih mirip ilmuwan sebetulnya dibanding wartawan populer, tapi isi otak mereka sanggup menggenjot majalah kami menjadi media Sains dan Teknologi nomor satu se-Asia Tenggara. Cukup ngetop malah, hampir sejajar dengan National Geographic Asia.
Itu dia!
Ternyata dia sudah datang. Duduk di kursi paling depan, fotografer dan wartawan senior andalan majalah kami, Mantikei Putra Sagara. Panggil saja dia Kei, itupun kalau orangnya mau dipanggil-panggil, biasanya ia terlalu arogan untuk menoleh. Kei ini, digadang-gadang bakal dicuri majalah sekelas National Geographic, tapi entah kenapa, pinangan media luar negeri itu beberapa kali gagal. “Mantikei si mata lensa” mereka bilang, dengan jari cepat dan terampil serta mata laksana elang. Tapi sayang, mulutnya pedas seperti harimau belum dapat jatah daging setahun kalau sudah berargumentasi. Kei yang tak pernah mau tahu bagaimana bekerja dalam sebuah tim, adalah Kei yang setiap bulan harus harus beradu kepala denganku, sebagai redaktur pelaksananya.
Laki-laki itu menatapku dari jauh, seperti mata samurai. “Silahkan, kalau memang kamu menemukan cover yang lebih baik dari hasil fotoku,” pungkasnya dingin.
Ini bukan soal bagus atau tidak –yang kuyakin seantero bumi tahu jawabannya– tapi soal cara kerja yang membuat tim kami nyaman, dia tidak bisa bekerja sendiri semau-maunya. Aku berdeham, berharap ada yang berani. Sebagai redaktur pelaksana, sudah tugasku bertindak adil dan merepresentasi isi kepala semua orang. Aku yakin, mereka semua mengumpat “bangsat” di kepalanya, tapi akhirnya setiap mulut memilih bisu.
“Kamu sudah tahu kan tema kita bulan ini?” tukasku. “So, why?” Aku mengedikkan kepala ke arah layar.
“Any problem with that?” Ia memicingkan matanya ke arah yang sama. “Or, you just have a problem with the photographer?”
Aku menggeram, bisa jadi kalau tidak ditahan Salman, mug itu sudah aku lempar ke wajah arogan itu. Ia yang nyaris membuatku bisu di depan anak buah seperti orang dungu.
“Hmm… Sachita? Kalau tidak ada ide lain, kita ambil saran Kei saja.” Salman Alfarisi, pemimpin redaksi –yang juga sahabatku– akhirnya memutuskan. Maunya Salman rapat ini lekas usai, dan majalah langsung naik cetak, tentunya ia akan terlepas dari celoteh para pemilik modal yang protes karena media mereka dianggap lamban.
Aku mendengkus sambil bersungut-sungut. Di ujung sana, Kei menatapku dingin, kakinya bergerak-gerak seolah sedang menahan diri.
Uzai!
***
Salman diam-diam memperhatikan, ia tahu aku sedang mengamati laki-laki di seberang sana. Laki-laki berjenggot ini mengekori langkahku menuju “kantin hijau”, dengan kekhawatiran di wajahnya. “Teh manis panas?” tawarnya.
“Jangan sok merasa kasihan, deh, Man!” Cangkirnya aku tepis. “Ini sudah biasa kan buat kita? Akhirnya dia yang memenangkan suara forum.”
Salman tergelak. “Anak emas perusahaan jangan dicederai, Sachi. Nanti pembesar-pembesar perusahaan komplain sama kita.”
“Target kita apa? Dapet Pulitzer? Ok, kalau dia memang segitu piawainya, sampai bisa menggerakkan ide satu kantor,” decakku sambil menyilangkan tangan di dada.
“Easy there, tiger!” hiburnya sambil mengisap sebatang rokok. “Demand pasar, Sachi. Jangan lupa itu. Orang-orang seperti Kei itu media sweetheart, kemampuan dan tampilannya digilai publik. Perusahaan kita membutuhkan dia. Apalagi karena memang kita tidak bisa memungkiri bakat alamiahnya.”
Aku menggeleng sambil meringis, merasa jijik.
“Ngomong-ngomong orangnya lagi liatin kamu, tuh.” Salman tergelak, ia mengedikkan dagunya ke arah jam 6. “Drama di kantor ini lama-lama menyenangkan juga.”
“Lain kali, kamu harus bayar buat debat alot kayak rapat tadi,” protesku sambil memutar bola mata. “Setiap awal bulan, aku itu cuma jadi tontonan buat kalian.”
Air muka Salman melembut, ia tersenyum di balik jenggot lebatnya. “Dia cuma mencoba cari perhatian publik, Sachi. Sah-sah aja, kok. Selama dia nggak menjiplak tulisan, mencuri hasil foto orang lain. Target Kei itu penghargaan kelas dunia.”
“Lantas untuk apa kita bikin rapat kalau begitu, Man?” hardikku. Satu kakiku dengan sengaja diselonjorkan ke kursi. “Kalau pada akhirnya, gagasan dia terus yang selalu lolos. Dan menyetir pendirian kita semua, agar fotonya selalu jadi perhatian.”
Salman Alfarisi manggut-manggut, sambil mengelus rambut lebat di dagunya. “Kok, aku membaui adanya kecemburuan?”
“Who? Me?? Naah….” Tanganku mengibas. “Sick maybe, but not jealous.”
Ia diam lagi, mencoba lebih retoris kali ini, melihat caraku menyikapi pendapatnya. “Sebetulnya, secara personal dia bukan manusia yang problematik kok, Chi. Actually as a person… he’s quite cool.”
“Aku nggak pernah kenal dekat sama dia,” gumamku. “Tapi kenapa semua bilang begitu, semua bisa kena sihir Mantikei.”