Mantikei dan Sang Panglima Rangkong Gading

Foggy F F
Chapter #3

Penangkap Cahaya

Sachita

Pada Sebuah Titimangsa di Masa Lalu.

Aktivitas manusia di kubikelku, sudah mulai terasa kebangsatan-nya saat makin siang, masing-masing menyumpah dan main gebrak meja. Mereka bilang kami ini perekam berita, makhluk-makhluk pilihan yang teruji independensi-nya, tapi belum tentu dengan pola higinitasnya. Semua baru kelar semedi di depan desktop sepanjang malam tadi. Bisa dipastikan, beberapa bau ketek dan belum mandi. Rutinitas edit foto, edit redaksional, sampai layout materi cetak untuk besok, siap direbus di kuali rapat, sekitar… beberapa menit lagi. Terus, mana dia? Kenapa belum tampak batang hidungnya?

Danila menoleh, ketika aku banting asbak di meja. Ia langsung buang muka, sadar kalau yang sedang marah-marah adalah orang yang sudah biasa mengumpat. “Kenapa lagi, Mbak?” Matanya masih ke layar komputer.

Aku meringis. “Hmm, biasa.”

Danila cuma terkekeh, ia menyeruput sesuatu dengan bola-bola hitam di gelas plastiknya. 

Majalah kami ini boleh dibilang, ada di antara kategori jurnal ilmiah dan majalah populer. Sama sekali tak aneh, kalau di kantorku tak ada yang perlente, mereka –abang-abang berkalung kartu pers ini– sukanya menghabiskan jatah kopi bulanan di pantry. Penampakan orang-orang di sini lebih mirip ilmuwan sebetulnya, dibanding wartawan populer, tapi isi otak mereka sanggup menggenjot majalah kami menjadi media Sains dan Teknologi nomor satu se-Asia Tenggara. Cukup ngetop sebetulnya, hampir sejajar dengan National Geographic Asia.

Itu dia. 

Ternyata dari tadi dia duduk di kursi paling depan. Fotografer dan wartawan senior andalan majalah kami, Mantikei Putra Sagara. Panggil saja dia Kei, itupun kalau orangnya mau dipanggil-panggil, biasanya ia terlalu arogan untuk menoleh. Kei ini, digadang-gadang bakal dicuri majalah sekelas National Geographic bulan lalu, tapi entah kenapa, pinangan media luar negeri itu beberapa kali gagal. Mantikei si mata lensa katanya, dengan jari cepat dan terampil, serta mata laksana elang. Tapi sayang, mulutnya sadis seperti harimau belum dapat jatah daging setahun kalau sudah berargumentasi. Kei yang tak pernah mau tahu bagaimana bekerja dalam sebuah tim, adalah Kei yang setiap bulan harus beradu kepala denganku, sebagai redaktur pelaksananya. 

Laki-laki itu menatapku dari jauh, seperti mata samurai. “Silahkan, kalau memang kamu menemukan cover yang lebih baik dari hasil fotoku,” pungkasnya dingin.

Ini bukan soal bagus atau tidak –yang kuyakin seantero bumi tahu jawabannya– tapi soal cara kerja yang membuat tim kami nyaman, dia tidak bisa bekerja sendiri semau-maunya. Aku berdeham, berharap ada yang berani. Sebagai redaktur pelaksana, sudah tugasku bertindak adil dan merepresentasi isi kepala semua orang. Aku yakin, mereka semua mengumpat bangsat di kepalanya, tapi akhirnya setiap mulut memilih bisu.

“Kamu sudah tahu kan tema kita bulan ini?” tukasku. “So, why?” Aku mengedikkan kepala ke arah screen

“Any problem with that?” Ia memicingkan matanya ke arah yang sama. “Or, you just have a problem with the photographer?”

Aku menggeram, bisa jadi kalau tidak ditahan Salman, aku lempar mug di meja ke arah fotografer arogan itu. Ia yang membuatku bisu di depan anak buah, seperti orang dungu.

“Hmm… Sachita? Kalau tidak ada ide lain, kita ambil saran Kei saja.” Salman Alfarisi, pemimpin redaksi –yang juga sahabatku– akhirnya memutuskan. Maunya Salman rapat ini lekas usai, dan majalah langsung naik cetak, tentunya ia akan terlepas dari celoteh para pemilik modal yang protes karena media mereka dianggap lambat. 

Aku mendengkus sambil bersungut-sungut. Di ujung sana, Kei menatapku dingin, kakinya bergerak-gerak seolah sedang menahan diri.

Uzai! (1)

***

Salman diam-diam memperhatikan, ia tahu aku sedang mengamati laki-laki di seberang sana yang sedang duduk sendirian. Laki-laki berjenggot ini, mengekori langkahku menuju “kantin hijau”, dengan kekhawatiran di wajahnya. “Teh manis panas?” tawarnya di hadapanku.

“Jangan sok merasa kasihan, deh, Man!” Cangkirnya aku tepis. Ini sudah biasa kan buat kita? Akhirnya dia yang memenangkan suara forum.”

Salman tergelak. “Anak emas perusahaan jangan dicederai, Sachi. Nanti pembesar-pembesar perusahaan komplain sama kita.”

“Target kita apa? Dapet Pulitzer? Ok, kalau dia memang segitu piawainya, sampai bisa menggerakkan ide satu kantor,” decakku sambil menyilangkan tangan di dada. 

“Easy there, tiger!” hiburnya sambil mengisap sebatang rokok. “Demand pasar, Sachi. Jangan lupa itu. Orang-orang seperti Kei itu media sweetheart, kemampuan dan tampilannya digilai publik. Perusahaan kita membutuhkan dia. Apalagi karena memang kita tidak bisa memungkiri bakat alamiahnya.” 

Aku menggeleng sambil meringis, merasa jijik. 

“Ngomong-ngomong, orangnya lagi liatin kamu, tuh.” Salman tergelak, ia mengedikkan dagunya ke arah jam 6. “Drama di kantor ini, lama-lama menyenangkan juga.” 

“Lain kali, kamu harus bayar buat debat alot kayak rapat tadi,” protesku sambil memutar bola mata. “Setiap awal bulan, aku itu cuma jadi tontonan buat kalian.” 

Air muka Salman melembut, ia tersenyum di balik jenggot lebatnya. “Dia cuma mencoba cari perhatian publik, Sachi. Sah-sah aja, kok. Selama dia nggak menjiplak tulisan, mencuri hasil foto orang lain. Target Kei itu penghargaan kelas dunia.”   

“Lantas untuk apa kita bikin rapat kalau begitu, Man?” hardikku. Satu kakiku dengan sengaja diselonjorkan ke kursi. “Kalau pada akhirnya, gagasan dia terus yang selalu lolos. Dan menyetir pendirian kita semua, agar fotonya selalu jadi perhatian.” 

Salman Alfarisi manggut-manggut, sambil mengelus rambut lebat di dagunya. “Kok, aku membaui adanya kecemburuan?”

Who? Me?? Naah….” Tanganku mengibas. “Sick maybe, but not jealous.”

Ia diam lagi, mencoba lebih retoris kali ini, melihat caraku menyikapi pendapatnya.  “Sebetulnya, secara personal dia bukan manusia yang problematik kok, Chi. Actually as a person… he’s quite cool.”

“Aku nggak pernah kenal dekat sama dia,” gumamku. “Tapi kenapa semua bilang begitu, semua bisa kena sihir Mantikei.”

Lihat selengkapnya