Mantikei dan Sang Panglima Rangkong Gading

Foggy F F
Chapter #4

Rhinoplax Vigil

Mantikei

Masa Kini.

Akar-akar menggantung, melilit, dan menambat pada dahan lebar. Lubang-lubang di permukaan batang yang besar, menjadi tempat persembunyian nyaman, bagi sosok yang berkamuflase dengan derik kasar kayu ara.

Beberapa kali, aku memperbesar gambar di layar komputer, memastikan jenis pohon tempat sang enggang bertengger dengan perkasanya. Daun yang menguncup di ujung ranting dilindungi oleh sepasang patera penumpu, ada bentuk seperti cincin di buku-buku rantingnya. Aku menepuk tombol kanan tetikus, memperbesar bentuk tulang lateral yang lurus dan menyudut di bagian pangkal, hingga menemukan ulir khas. Bisa dipastikan, aku membidik pohon ara dengan klasifikasi langka dan purba.

Sama seperti legenda pohon-pohon bermakna kebudayaan umat manusia, pohon ara punya fungsi mirip dengan pohon beringin atau pohon bodhi, karena keberfungsiannya terhadap lingkungan sekitar dan kebudayaan manusia hingga kini cukup besar. Pohon-pohon ini menjadi simbol peradaban, mereka dijadikan analogi kebijaksanaan suku-suku tertua. Barisan ini mengelilingiku, seolah alam menghendaki aku berpikir lebih bijak, melampaui kemajuan teknologi dan pikiran seragam umat manusia saat ini. Sekian lama, aku terjebak dalam pola mekanis mesin ambisi, kini tak ada apa-apanya dibanding kehebatan pola alam yang aku saksikan di depan mata.

Gambar di layar komputer membuatku terkesima, burung perkasa itu bertengger dengan gagahnya di sana, bukan hanya sedang mencari buah ara untuk dipatuk, tapi juga mengamati keberadaanku di balik lensa. Sedari kunyalakan video tanpa suara tadi, setitik binar di mata rangkong, memancarkan sinar menyala-nyala. Ia menatapku dan bergerak dengan liuk anggun. Burung besar mengempas ekornya, ia bertengger perlahan menyusuri dahan. Paruhnya mengetuk permukaan pohon dengan lembut, mencipta bebunyian lewat balung jingganya, lalu ia berkeok kencang, memanggil deru angin yang tiba-tiba datang dari arah tak disangka. Aku menjatuhkan tetikus, binar mata rangkong gading kian menyala-nyala, membuat bulu-bulu halus di tengkukku meremang.

***

Ambara Lawinei adalah ibu Nanjan. Satu-satunya yang dipercaya oleh pusat penelitian, untuk membantu para tamu dan peneliti yang tinggal di kabin konservasi. Bertahun-tahun aku tinggal di sini, hanya Ambara Lawinei dan Nanjan yang menemaniku melepas penat. Seolah keduanya ikut merasakan duka cita yang aku pikul dari kota, tanpa perlu bertanya apa dan kenapa.

Udah makai, Dom(2)? (Sudah makan, Nak?)” Sama seperti Nanjan, Ambara punya daya memikat para tamu dengan keramahannya yang bersahaja. Perempuan Dayak sederhana itu, selalu bisa membaca keresahanku. 

Aku menggeleng, mengalihkan pandangan dari layar. Meski jantung masih berdebar, aku lantas beringsut menghampiri Ambara. Ia tengah menyajikan santapan untuk kami para penghuni kabin. “Masak apa, Bu?”

“Kalau bilang nasi ikan, Mantikei pasti sudah bosan.” Ia tergelak, matanya makin sipit. “Bukan nasi goreng seperti di kota, juga tak semewah makanan orang Jakarta.”

Aku tersenyum, mengucap syukur dalam hati, dipertemukan dengan orang-orang baik hati ini. Setelah membasuh tanganku yang makin legam, aku mencium wangi nasi santan mengepul di meja. Wangi kelapa menguar memancing perutku bunyi.

“Sudah lapar, Dom?”

“Semalam nggak sempat makan, Bu.” Sambil mengelus perut, aku duduk di hadapannya.

“Nanjan belum datang.” Ia tiba-tiba menjelaskan. “Hujan besar di kota. Sulit sekali menghubunginya, kita makan duluan saja.”

Aku terpekur, mencerna informasi barusan. “Mmm… tamu kita yang mau datang, sendirian?” 

Ambara terdiam. Ia malah mengalihkan. “Nasi lemaknya mau ditaburi ebi, Dom?” 

Aku mengangguk, memperhatikan raut wajahnya. Menunggu.

Lihat selengkapnya