Mantikei
Akar-akar menggantung, melilit dan tertambat pada dahan yang lebar. Lubang-lubang di permukaan batang yang besar, menjadi tempat persembunyian nyaman bagi sosok yang berkamuflase dengan derik kasar kayu ara.
Beberapa kali, aku memperbesar gambar di layar komputer, memastikan jenis pohon tempat sang enggang bertengger dengan perkasanya. Daun yang menguncup di ujung ranting dilindungi oleh sepasang patera penumpu, ada bentuk seperti cincin di buku-buku rantingnya. Aku menepuk tombol kanan tetikus, memperbesar bentuk tulang lateral yang lurus dan menyudut di bagian pangkal, hingga menemukan ulir khas yang seringkali aku tangkap dengan lensaku. Bisa kupastikan, yang kubidik adalah pohon ara jenis langka.
Sama seperti legenda-legenda pohon bermakna dalam kebudayaan umat manusia, pohon ara punya fungsi mirip dengan pohon beringin atau pohon bodhi, karena keberfungsiannya terhadap lingkungan sekitar dan peradaban kebudayaan manusia hingga kini. Pohon-pohon yang menjadi simbol peradaban ini dijadikan analogi kebijaksanaan suku-suku tertua. Barisan inilah yang mengelilingiku, seolah alam menghendaki aku untuk berpikir selangkah lebih bijak, melampaui kemajuan teknologi dan pikiran seragam umat manusia kebanyakan. Aku yang sekian lama terjebak dalam pola mekanis mesin ambisi, tak ada apa-apanya dibanding kehebatan fenomena alam.
Gambar di layar komputer membuatku terkesima, burung perkasa itu bertengger dengan gagahnya di sana, ia sedang mencari buah ara untuk dipatuk, sambil mengamati. Sedari kunyalakan video tanpa suara, setitik binar di mata rangkong itu memancarkan sinar menyala-nyala. Ia menatapku sambil bergerak dan meliuk anggun. Rangkong besar itu mengempas ekornya dan bertengger perlahan menyusuri dahan. Paruhnya mengetuk permukaan pohon dengan lembut, mencipta bebunyian dengan balung jingganya, rangkong gading itu berkeok dengan kencangnya, memanggil deru angin yang tiba-tiba datang dari arah tak disangka. Aku menjatuhkan tetikus tiba-tiba, binar mata rangkong gading itu semakin menyala-nyala. Bulu-bulu halus di tengkukku sontak meremang.
***
Ambara Lawinei adalah ibu Nanjan. Satu-satunya yang dipercaya oleh pusat penelitian, untuk membantu para tamu dan peneliti yang tinggal di kabin konservasi. Bertahun-tahun aku tinggal di sini, hanya Ambara Lawinei dan Nanjan yang menemaniku melepas penat. Seolah keduanya ikut merasakan duka cita yang aku pikul dari kota, tanpa perlu bertanya apa dan kenapa.
“Udah makai, Dom?(2) (Sudah makan, Nak?)” Sama seperti Nanjan, Ambara punya daya memikat para tamu dengan keramahannya yang bersahaja. Perempuan Dayak sederhana itu, selalu bisa membaca keresahanku dengan caranya yang lugu.
Aku menggeleng, mengalihkan pandanganku dari layar. Jantungku masih berdebar, ketika menghampiri Ambara. Ia sedang memasak untuk para penghuni kabin. “Masak apa, Bu?”
“Kalau bilang nasi ikan, nuan (3) pasti sudah bosan.” Ia tergelak, matanya makin sipit. “Bukan nasi goreng seperti di kota, tapi tak semewah makanan orang Jakarta.”
Aku tersenyum, mengucap syukur dalam hati, dipertemukan dengan orang-orang baik hati ini. Setelah membasuh tanganku yang makin legam, aku mencium wangi nasi santan yang mengepul di meja. Wangi kelapa menguar memancing perutku bunyi.
“Sudah lapar, Dom?”
“Semalam nggak sempat makan, Bu.” Sambil mengelus perut, aku duduk di hadapannya.
“Nanjan belum datang,” ucapnya tiba-tiba. “Hujan besar di kota, sulit sekali menghubunginya. Sebaiknya kita makan duluan saja.”
Aku terpekur, pikiranku teralihkan pada informasi barusan. “Mmm… tamu kita yang mau datang dari Jakarta itu, sendirian?”
Ambara lama sekali terdiam. “Nasi lemaknya mau ditaburi ebi, Dom?”
Aku mengangguk, memperhatikan raut wajahnya. Menunggu.