Pada Sebuah Titimangsa di Masa Lalu.
Ruangan itu cukup luas, sekurangnya 15 meter persegi. Dindingnya berlapis kertas berkelir gading, diapit dua buah lemari besar berisi lembar arsip dan buku-buku tebal. Tampak kursi baca dengan jok kulit di atas lantai berlapis karpet, ditempatkan persis di pojok ruangan. Sepanjang dinding baris kanan, beberapa lukisan satwa dan flora Kalimantan membentang lebar, mengundang pukau siapapun yang berkunjung. Begitu memasuki kamar berpendingin serbaputih, dapat ditebak siapakah Profesor Arifin Sagara dan Profesor Malina sesungguhnya. Mereka yang sepanjang hidupnya, mendedikasikan diri pada pengembangan khazanah ilmu dan konservasi satwa liar hutan Kalimantan. Ruangan ini adalah persona keduanya.
Jendela besar itu menghadap ke timur laut, membawa sinar rembulan masuk tanpa penghalang. Bangunan utama berbentuk trapesium berdiri kokoh, berhadapan dengan ragam tumbuhan yang terpelihara dengan baik. Profesor Malina memilih jenis vegetasi unik di halaman luasnya, beberapa pohon dengan klasifikasi langka, sengaja dibawa jauh dari berbagai daerah untuk dikembangbiakkan. Ekosistem inilah, yang kemudian digadang-gadang menjadi paru-paru artifisial kawasan pikuk Jakarta Selatan.
Sesosok bayangan terduduk di lantai, bahunya bergerak-gerak, ia tengah tersedu tanpa suara. Kei terpekur sambil memeluk lutut, kepalanya menelungkup. Dari jarak 3 meter, sang kakak mengamati, hatinya pun ikut teriris-iris. Kei dan Bethari tak pernah gentar, mereka hadapi setiap tantangan hidup yang mendera tanpa tawar menawar. Namun kali ini… rasanya berbeda, satu persatu harapan direnggut paksa dari hidup mereka.
Laporan yang diterima dari kepolisian, memang tak salah. Profesor Arifin Sagara dan istrinya meninggal, dalam posisi saling memeluk di lantai ruang makan. Hasil olah TKP menyatakan, kandungan senyawa arsenik murni terpapar dalam tubuh mereka. Polisi meyakini, makanan yang dikonsumsi keduanya telah diracuni. Saat ini, beberapa media massa mulai berasumsi, “Kematian Profesor Arifin Sagara dan Profesor Malina, Bermotifkan Pembunuhan Berencana.”
Selang sepekan setelah perkara terjadi, Bethari pulang ke Indonesia. Pertemuan itu kembali membuka sayatan luka lama –banyak hal yang dulu tak tersampaikan– turut membangun jarak di antara keduanya. Bethari Putri Sagara tak pernah menginjakkan kakinya lagi di tanah air, sejak musibah besar terjadi padanya di masa lalu. Seperti layaknya daur kehidupan yang akan bergerak melingkar dan kembali saling bertumpu, setiap ujung akan menemui akhir, dan setiap akhir akan menemui kembali awal cerita baru. Peristiwa tragis itu menuntut Bethari dan Kei kembali menyatu –sebagai satu keluarga.
Rumah besar Profesor Sagara, adalah tempat keduanya bertumbuh hingga masa-masa remaja berhasil dilalui. Meski memiliki orang tua ilmuwan ternama, Bethari dan Kei tak pernah tertarik untuk terjun di dunia saintis, apalagi melarutkan diri dalam lembar-lembar jurnal penelitian seperti orang tua mereka, hingga mengorbankan jatah waktu untuk anak-anak. Keduanya tahu, masa tak bisa berulang, perjalanan pada akhirnya telah menemui akhir. Yang tersisa hanya sesal dan rasa kehilangan.
Bethari memandang ke arah taman lewat jendela. Setiap apa yang dilihat, membawa kenangan lama, sudut-sudut rumah; wangi kelopak bebungaan; irisan daun berembun; dan pekik satwa yang Profesor Malina selamatkan. Setiap rinci, menghidupkan kembali memori masa kecilnya tentang sang ibu. Kali ini, ingatannya dinodai rasa ngeri dan tanda tanya mencekam. Siapa yang menghendaki kematian Ayah dan Ibu? Apa yang mereka lakukan, hingga ada pihak yang menaruh dendam?
Bethari masih bungkam, ia duduk berhadapan dengan adiknya di lantai. Keduanya sama-sama membisu. Sinar bulan menyuruk menembus jendela bening, mencipta siluet hitam tubuh mereka. Kowak malam kelabu terdengar berkukuk dari kejauhan, meningkahi udara yang sayup mengalir sepanjang foyer rumah, meremangkan bulu kuduk.
“Kamu harus makan, Kei.” Bethari beringsut, memberikan separuh selimutnya untuk dibagi. “Berhari-hari, perutmu nggak diisi.”
Kei mengangkat kepala. “Gimana kamu bisa setenang ini, Thar?” bisiknya.
Wajah masam Bethari berubah ringisan, ia hanya bisa mengangkat bahu. Bethari pernah kehilangan segalanya, inilah yang membuatnya belajar menjadi sekeras batu, sanggup menerima berbagai kabar duka dan abai akan kesedihan. “Orang-orang dari kantormu datang menjenguk, nggak mau menemui mereka?” Ia mengalihkan.
“Thar… ada yang salah.” Otak Kei berputar. Ia mengembuskan napas, terdengar putus asa.
“Aku yakin ini semua memang salah, nggak ada yang ingin ini terjadi.” Bethari mengedarkan pandangan. “Kembali ke sini, buatku butuh nyali.”
“Maksudku… ini ada hubungannya dengan riset mereka.” Bola mata Kei bergerak-gerak, ada kekacauan yang berkelindan di kepalanya, sesuatu yang rumit. “Ada sesuatu yang berharga telah hilang, aku yakin soal ini,” bubuhnya.
“Maksudmu?”
“Ayah dan Ibu, mereka sedang meneliti sesuatu. Aku… aku yakin ada seseorang yang menghendaki kematian mereka, dan mengambil sesuatu yang penting dari komputer Ayah, dan meja kerja Ibu.”
Bethari menatap Kei dengan sorot kebingungan. “Kamu merasakan sesuatu lagi?” Ia menelan ludah. “Se-seperti dulu?”
Kei mengangguk ragu-ragu, tatapannya seolah berpendar, tak yakin akan apa yang dirasakannya. Ada gelenyar asing yang sejak malam itu terus mendorongnya berbuat sesuatu, mengurai setiap pertanyaan.
Dari dulu Bethari tahu, kalau adiknya pemberani, tetapi kali ini wajahnya tampak lain. Kei mengenali sesuatu dan ia ketakutan karenanya. Bethari lantas beringsut, memutuskan untuk duduk lebih dekat, bahu mereka bersentuhan. Ia ingin terlihat dingin dan tak terpengaruh oleh seluruh hal yang terjadi, nyatanya… batinnya mencelos, ketakutan itu menular.
“Aku nggak bisa berpikir jernih, Thar. Rasanya semua nggak masuk akal.” Kei menggeleng kuat-kuat, ia tampak putus asa.
“Kenapa? Menurutmu mereka nggak punya musuh? Mereka nggak layak dibenci?”
Kei meringis, meski ia tahu Bethari banyak tersakiti, tapi sepanjang masa kecil mereka, Bethari adalah sosok pengayom yang selalu peduli. Hidup menjungkirbalikkan cara pandangnya akan dunia. Musibah membuatnya hilang bakti pada kedua orang tuanya. “Kamu seolah nggak merasa kehilangan.”
“Tentu saja aku berduka, nggak ada anak yang nggak berduka saat kehilangan orang tuanya, Mantikei,” tukasnya tajam. Ia tak pernah memanggil adiknya dengan nama itu, jika tak sedang gusar.
Kembali hening, sesaat kemudian dering telepon membuat Kei terperanjat, ia mengumpat.