Pada Satu Titimangsa di Masa Lalu.
Bethari baru saja berlalu dari hadapannya, ketika gawai di meja tiba-tiba bergerak. Di antara dengung pendingin udara, getarnya terdengar nyaring, mengetuk-ngetuk permukaan meja.
Sachita Redaksi Calling….
Perempuan itu masih belum menyerah menghubungi Kei, setelah menyuruh Danila mencari tahu kabar tentangnya, ia tetap bersikukuh ingin mengajaknya bicara. Layar itu masih mengedip, menampilkan foto perempuan berkulit pucat bak satin, dengan air muka keras seperti serigala. Sachita kini mengirimkan pesan.
“Kamu nggak mau mengangkatnya?” bisik Bethari dari balik pintu.
“Aku pikir kamu sudah tidur,” balas Kei tergagap.
Senyum mafhum Bethari perlahan memudar, ia berdecak. “Jangan menyebalkan begitu, Kei,” gumamnya sambil berlalu. “Dia cuma ingin membantu.”
Aku baru saja kehilangan orang tua, for god sake. Kei membatin.
***
Pakar forensik telah menyatakan hasil autopsi terhadap kedua jenazah. Kepala Bareskrim Mabes Polri, telah mengumumkan hasil penyelidikan kepolisian beserta saksi ahli, bahwa sepasang suami istri yang berprofesi sebagai ilmuwan biologi molekuler dan ornitolog itu, tewas karena diracun. Telah ditemukan senyawa arsenik mematikan di dalam darah dan lambung keduanya.
Bethari berkali-kali membaca hasil autopsi dari dokter forensik. Berita tentang penyebab kematian ayah dan ibu mereka, membuatnya kembali terguncang, meski sejak sepekan lalu, ia sudah bisa menduga hasil penyelidikan akan berakhir begini.
Wajahnya berubah muram. Bethari yang biasanya terlihat tegar kini tampak murung, ia tak bisa menutupi gemetar tangannya yang masih memegang Berita Acara Pemeriksaan. Bethari pernah kehilangan suami dan anak dalam sekejap mata, kali ini kasus kematian ayah dan ibunya kembali menghancurkan hatinya perlahan-lahan. Napas Bethari mengembus pelan. “Ayah dan ibu pasti sudah tenang sekarang,” racaunya. “Kita akhirnya bisa memastikan, penyebab kematian mereka.”
“Thar—” desis Kei. Mereka masih berada dalam jarak dengar beberapa pasang telinga. Ruangan badan reserse kriminal itu terlampau sempit, apalagi kerumunan wartawan masih berkumpul di luar sana.
Dari jarak 5 meter, perempuan berkulit putih itu masih berdiri teguh di sana. Sesekali ia memandangi Bethari dan Kei dengan sorot mata menyelidik. Rambutnya diikat berantakan, wajahnya kusut. Tiba-tiba ia melambai canggung ke arah Bethari, sambil berbisik di telinga lelaki berjenggot sebelahnya.
“Kei,” sapa perempuan itu gugup, ia mengangguk ke arah Bethari dengan sungkan, lantas menyodorkan tangannya yang kurus. “Aku Sachita, Redaktur Pelaksana dari media tempat Kei bekerja.”
“Gimana kabarmu, Kei?” Lelaki berjanggut itu ikut bertanya, ia menepuk pundak Kei dengan sorot khawatir.
“Salman,” sapa Kei, sambil mengangguk sekilas. “Ini Bethari, kakakku.”
“Kami sudah berkenalan,” sambar Sachita, “lewat telepon.”
“Akhirnya kita bertemu langsung.” Bethari mengangguk, senyumnya terasa hambar.
Mereka mengamati kerumunan wartawan dan polisi, yang berlalu-lalang di ruangan berpendingin dan sempit itu. Pandangan Sachita tak pernah lepas dari gerak-gerik Kei, ia memperhatikannya dengan awas, sesekali jarinya mengetikkan sesuatu dengan tangkas. Dari sudut mata Kei, ia tahu dan menyadari apa yang tengah Sachita lakukan, hal itu membuatnya mendengkus jengkel.
“Kenapa?” bisik Bethari.