Mantikei
Sebuah Titimangsa di Masa Lalu
Bubur ayam adalah makanan kesukaannya. Ia berkali-kali protes bubur di mangkuknya hambar, cuma karena tukang jualan bubur di tempatnya tak merebus kaldunya dengan tepat. Ibuku secakap itu dalam menyajikan sesuatu, apalagi yang khusus diperuntukkan bagi Ayah. Ibu begitu memuja ayah, hingga ia memacu hidup, termasuk kecerdasannya demi mempelajari banyak bidang, agar bisa bekerja berdampingan dengan ayah. Waktu aku tanya, kenapa ibu memilih mempelajari burung dan habitatnya, ia cuma menjawab: “karena burung makhluk yang paling bebas. Mereka memiliki karakter bijaksana, itulah kenapa banyak profesi memiliki simbol yang terwakili oleh satwa ini.”
Meski akhirnya aku terjun di dunia yang jauh berbeda dengannya, ibulah yang selalu menyokong setiap karya yang aku cipta. Ia turut menilai hasil fotoku dari waktu ke waktu, karena baginya, menyimpan kenangan ke dalam bentuk dua dimensi adalah sesuatu yang luar biasa. Itu pula yang membuatnya bangga, ketika aku memutuskan untuk berangkat ke Kalimantan Barat, dan mengabadikan karyaku dari sana. Foto yang menuai banyak pujian.
Ia menyendok lagi bubur ayamnya, kali ini tanpa ekspresi. Tampak, ada hal berat membebaninya hari ini. “Waktu kamu ambil foto itu, bagaimana perasaanmu?”
Aku menatapnya, mencari arah bicara yang tak bisa kutelusuri. “Sebetulnya waktu itu, mereka ingin aku meliput KTT G-20 di Italy,” ucapku sambil menyuap sendok pertama buburku.
“Kenapa kamu tolak tawaran bergengsi seperti itu? Apa yang membuatmu memutuskan untuk menyusuri Danau Sentarum?”
Ibuku seorang ilmuwan, setiap hal di alam semesta ini selalu memiliki rantai aksi dan reaksi. Ia tak akan mudah menerima begitu saja, kejadian tak terduga tanpa punya latar belakang rasional. “Insting yang mengarahkanku ke sana.”
“Kita bukan hewan, Mantikei. Hal instingtif dalam dirimu, pasti punya alasan… berdasarkan nalar.” Ia mengaduk buburnya, seperti mau tak mau. “Ayahmu contohnya, ia mengurai DNA makhluk yang selama ini Ibu teliti, hanya untuk membuktikan bahwa rangkong bukanlah hewan endemik. Ia tersebar di Afrika, Asia wilayah tropis, Indonesia, dan Papua Nugini. Semua yang ditelitinya, bahkan sampai lapisan paling renik dalam sel setiap makhluk, punya tujuan dan alasan.”
Aku mengangguk, sadar tengah berhadapan dengan siapa. “Bu, memutuskan untuk menentang kehendak meja redaksi dan berangkat ke Kalimantan Barat, sulit buatku.” Tatapanku tertuju ke arah pintu besar, yang selalu tertutup. “Aku paham, apa yang Ayah kerjakan di dalam sana, pastilah rumit. Tapi, jenis pekerjaanku menuntutku untuk berpikir cepat, terkadang membutuhkan insting kuat.”
“Tadi kata kamu, memutuskan untuk berangkat ke sana itu sulit?”
Aku mengangguk.
“Kenapa? Kamu kan berasal dari sana?”
Aku terdiam sesaat, sebelum mengembuskan napas panjang.
“Soal sulit dan rumit itu urusan mindset,” tukasnya cepat. “Kalau kamu anggap sulit, selamanya apa yang ingin kamu raih, akan menjauh dari hidupmu. Begitupun sebaliknya, ketika kamu anggap mudah, semesta akan menggiring setiap elemen yang kamu inginkan itu mendekat.”
Aku tersenyum mendengar jawaban darinya. Menekuri setiap kata-kata yang selalu membuat aku percaya, kalau ia memang dilahirkan menjadi seorang ilmuwan yang bijaksana. “Ibu sudah mendapatkan apa yang Ibu mau selama ini?”
Ia diam, menunduk sambil mengaduk buburnya yang mulai dingin. “Kamu tahu, kenapa ayahmu memilih bekerja di lembaga penelitiannya sendiri, dan harus terlibat dengan banyak orang, yang ia bahkan tak suka?”
Aku menggeleng. Ucapannya membangkitkan rasa penasaranku sejak lama, kenapa dari dulu Ayah seringkali mengurung diri di ruang kerjanya hingga larut malam, bekerja di balik riset-riset yang tak kupahami.
“Karena Ayah begitu mencintai apa yang dipelajarinya, hidupnya didedikasikan untuk mempelajari genetika. Baginya, semua punya benang merah, setiap jalinan DNA, RNA, manusia, tumbuhan, hewan, setiap organisme.” Sorot matanya penuh binar. “Itulah kenapa, tak ada habisnya, ayahmu mendedikasikan diri untuk keberlangsungan habitat makhluk hidup yang ia teliti.”
Ada degup yang meletup-letup dalam dada. Kenyataan bahwa waktunya habis untuk ilmu pengetahuan, menumbuhkan rasa bangga yang begitu renik, berbanding kerinduan yang jauh lebih besar.
Raut di wajahnya berubah sendu. “Bethari tidak memahami antusiasme besar ayahnya.”
“Yang Bethari butuhkan hanya kehadiran ayah dan ibunya, tepat di saat ia kehilangan segalanya.” Kikuk, aku berusaha membicarakan topik yang tidak kusukai, hubungan mereka dengan kakak perempuanku adalah kondisi yang tidak bisa diperbaiki selama ini.
Ibu tak menjawab, ia menunduk menatap mangkuknya yang hanya diaduk sembarangan. “Buburnya sudah dingin,” ucapnya tiba-tiba.
Aku tersenyum, mengambil mangkuk di hadapannya. “Aku taruh di belakang, ya? Ibu sebaiknya istirahat. Besok kan harus berangkat ke sana lagi.”