Pada Satu Titimangsa di Masa Lalu.
Ia hanya meninggalkan satu pesan pendek tentang kesedihannya. Bethari tak menemukan lokasi, titik atau tanda, kemana dan kapan adiknya akan kembali. Kei seperti hilang ditelan bumi, dalam waktu yang sangat singkat. Bahkan ia sama sekali tak terlihat memiliki rencana saat itu. Yang Bethari tahu, Kei begitu kukuh untuk mencari benang merah yang menghubungkan kematian orang tuanya, dengan kasus hilangnya rombongan peneliti dari Jepang di sebuah hutan purba Kalimantan Barat. Ia terus menerus menelaah, berbagai riset berbahaya yang melibatkan orang tuanya itu. Bethari merasa, ada sesuatu yang aneh dari kepergian Kei yang tiba-tiba. Ia bahkan tak pamitan atau memberi kesan akan pergi.
“Bethari….” Perempuan kurus dengan rambut diikat carut marut itu, muncul di hadapannya dengan muka kusut. “Maaf aku ganggu. Banyak hal yang ingin aku bicarakan tentang adikmu,” ucapnya panjang lebar. Ia memaksa masuk ke dalam apartemen.
Bethari masih melongo. Fakta bahwa Sachita berani muncul di hadapannya pagi sekali begini, membuatnya takjub. Ia menggaruk dagunya.
“Bethari?”
Bethari menggeleng, lalu mengerjap-ngerjap. “Eh, ya? Silahkan masuk. Apartemen Kei berantakan, aku nggak sempat membereskan. Darimana kamu tahu alamat ini?”
Sachita tahu, itu pertanyaan basa-basi. Ia tak menjawab, dan memilih tersenyum sekilas. Mata perempuan itu menyusuri ruangan seperti sinar laser, ia memindai setiap sudut, menyisir setiap petunjuk yang bisa diingatnya di kepala. Perempuan ini memang betul-betul seorang wartawan sejati, pantas Kei pernah bilang kalau kepala Sachita, isinya ambisi semua. Bethari berdeham.
Sebelum ia merangsek masuk lebih jauh, Sachita berhenti. Sorot matanya meredup melihat wajah Bethari yang sedang bersedih.
“Apa yang bisa aku bantu Sachita?” Bethari mengempaskan punggung, di satu-satunya sofa dalam ruangan. “Silahkan duduk,” tawarnya.
Canggung, Sachita menatap Bethari ragu-ragu. “A-aku tahu, Kei nggak suka sama aku.” Ia memulai kalimatnya dengan sebuah pengakuan. “Tapi, aku nggak seperti yang dia pikirkan,” ungkap Sachita. Ia menyerahkan ponselnya, memperlihatkan sebuah gambar. “Saudara kembarku menyayanginya… seperti kakaknya sendiri.”
Ucapan Sachita membuyarkan segala kecurigaan di benak Bethari. Ia beringsut mendekat, dan menangkupkan tangannya di atas telapak dingin perempuan Jepang itu. Bethari tak tahu harus berucap apa, tapi ia paham yang dirasakan Sachita.
“Aku nggak pernah menyalahkan dia. Aku tahu… ada hal aneh saat kejadian itu menimpa Satomi. Tapi aku nggak pernah menyalahkan Kei.”
“Aku tahu….” Bethari hanya mengucap sepotong kalimat pendek. Ia ingin Sachita paham, kalau dirinya pun seorang kakak yang selalu ingin melindungi saudaranya, ia paham perasaan itu.
“Selama ini, Kei menganggap aku membencinya.” Sachita membuang wajah ke arah jendela apartemen di lantai 15, ia menatap langit yang lambat laun mulai terang. “Aku tahu bagaimana saudaraku menderita sejak kejadian di Tolikara. Tapi Satomi berangkat ke sana dengan sadar, liputan itu adalah pilihannya….”
“Bukan karena Mantikei.” Bethari menambahkan.
Sachita mengangguk. “Bukan karena Kei,” ulangnya. “Aku nggak tahu, kenapa ia menganggap aku membencinya karena Satomi.”
Suara sirine di kejauhan, serta hiruk pikuk lalu lintas Senayan, membuat fokus mereka masing-masing tak karuan. Keduanya saling menatap, Bethari yang lalu memecah kebekuan terlebih dulu. “Aku minta maaf, kalau adikku menyinggungmu. Tapi… aku yakin dia nggak pernah bermaksud begitu, Sachita. Kei itu….”
“Kaku,” potong Sachita, sambil menggumam.