Mantikei dan Sang Panglima Rangkong Gading

Foggy F F
Chapter #10

Dunia Sachita Akatsuki Aruna

Sachita

Kyoto, 2015.

Aku memutuskan untuk tinggal bersama Obachan (9), meninggalkan Indonesia sejak 10 tahun lalu. Meninggalkan orang tua yang masing-masing sudah menikah lagi, meninggalkan sekolah ketika aku sudah mulai kerasan, dan terutama meninggalkan Satomi saudara kembarku yang sudah menjadi irisan kehidupanku sejak dalam rahim Ibu.

“Apa itu kembar monozigot (10)?” Ia mengernyit, wajahnya yang seperti pinang dibelah dua denganku, tampak lucu.

“Seperti kita,” jawabku pendek.

Satomi manggut-manggut. “Kalau begitu, kita nggak boleh terpisahkan Sachi. Kita akan selalu sama-sama, apapun yang terjadi.”

Aku masih ingat matanya yang seperti anak anjing memelas itu, membuatku merasa terpenjara dalam kewajiban yang tak kasat mata. Buatku, Satomi selalu jadi anak rapuh yang butuh saudara kembarnya, untuk membela diri. Aku tidak mengangguk, apalagi bilang iya. Saat itu, aku tidak mau berjanji akan tetap tinggal di Indonesia. 

Kenyataan bahwa Bapak dan Ibu tidak lagi tinggal bersama, sudah membuatku tidak betah tinggal di tanah air. Rinduku pada Obachan, dan kedamaian yang ditawarkan di sana membuatku akhirnya memilih pindah. Pertengkaran Bapak dan Ibu, mengisi seluruh masa remajaku, yang sudah betul-betul jengah. Tak ada yang tersisa dari kenangan hidup di negara tempatku lahir, selain di sanalah saudara satu telurku bermukim. 

Memutuskan tinggal di Kyoto memang tidak mudah –apalagi setelah lulus kuliah– ketika aku belum juga punya pekerjaan tetap. Meski berkali-kali dapat panggilan kerja dari Indonesia, aku bersikukuh untuk tinggal bersama Obachan. Hingga… kabar tak enak datang dari kantor tempat Satomi bekerja. Ia mengalami kecelakaan di Tolikara Papua, hingga nyaris meregang nyawa.

“Halo?”

“Dengan Sachita Aruna?”

Aku mengangguk, lupa kalau orang di seberang sana tidak bisa melihat rupaku. “Hei, ini nomor saudara kembarku, kamu mau main-main dengan ponsel dia?” tuduhku sengit. “Aku bisa saja panggil polisi dari sini.”

Napas laki-laki di seberang sana tersengal-sengal, ia gelagapan. “Aku nggak tahu harus menghubungi siapa. Tapi Satomi sering menceritakan kedekatan kalian. Ma-makanya aku telpon kamu.”

Dekat?? Siapa ini?

“Kamu bisa datang kesini?” ucap orang di sana, memberondongku dengan ucapan yang membingungkan.

Dōiu imidesu ka? (Apa maksudmu?) Saya tinggal jauh sekali.” Aku mengumpat dalam hati. Lagi-lagi Satomi berperan sebagai saudara kembar yang harus dibela, sementara aku, harus selalu siap sedia buat dia. “Ada apa dengan Satomi?”

Ia diam lama. Nada suara lelaki itu berat. “Satomi kecelakaan.”

Aku duduk di tangga rumah Obachan. Pandanganku mengabur tanpa bisa dicegah. Satomi….

“Halo? Halo Sachita??”

Dalam limbung, aku menghapal warna suara itu. Ia tahu namaku.

***

Sachita

Jakarta, Masa kini.

Ia tidur bergelung, memeluk lututnya yang kurus naik hingga dada. Melingkar seperti bayi dalam rahim. Dengkurnya begitu halus, matanya tertutup rapat, aku tak berani membangunkannya. Hingga 43 menit berlalu, ia pun beringsut dan membuka kelopak matanya, lantas terkesiap begitu melihatku. “Sachi…,” bisiknya.

Lihat selengkapnya