Mantikei dan Sang Panglima Rangkong Gading

Foggy F F
Chapter #11

Bethari Putri Sagara

Mantikei

Borneo, Masa Kini.

Bethari menatapku dengan wajah terluka, seperti merasa dikhianati. Ia belum bicara sepatah katapun, sejak turun dari perahu motor Nanjan. Barang bawaannya tak banyak, sepertinya ia sengaja datang, hanya untuk memastikan aku memang berada di hutan ini. Dengan baju lusuh, wajah kusut dan raut sengit pun, Bethari tetaplah Bethari, karismanya selalu berpendar.

“Kakak perempuanmu cantik amai (amat), Dom (Nak).” Di sela menyiapkan makan malam, Ambara Lawinei menghampiriku. Ia mengedikkan dagunya. “Persis seperti Profesor Malina.”

Aku bernapas, mirip dengkusan. Kamu tidak tahu saja, kalau dia sedang marah. 

“Apa yang terjadi padanya di masa lalu, amatlah merampau (sedih).” Ambara Lawinei masih mengamati kakakku dari kejauhan. “Nak bisi indai, nak bisi apai (Tak ada ibu, tak ada ayah), hidupnya menderita.”

Ada debar yang mengiringi setiap ucapan Ambara Lawinei tentang kakakku, mengiris hatiku perlahan-lahan, membangkitkan rasa bersalah yang sejak lama berhasil aku tidurkan, kini rasa bersalah itu muncul kembali. Kisah keluarga kecil Bethari yang porak poranda. “Ibu tahu soal kecelakaan itu?” tanyaku hati-hati. Kenapa aku merasa, Ambara sudah mengenal Bethari sejak lama.

Ambara mengangguk. “Profesor Malina bercerita banyak.” Lalu Ambara menggeleng dengan yakin. “Bukan karena sebatang rokok, Dom.” Ia menatap tangannya yang sedang merajang satu ruas jahe, terdengar seperti sedang menahan diri.

“Lalu karena apa, Bu?”

Ia mendongak, tatapannya tajam. “Sama seperti yang terjadi pada kalian selama ini. Besampi Dom, besampi pada Tuhan (berdoalah pada Tuhan), tak ada kekuatan jai (jahat) membuntuti.”

Aku terkesima mendengar uraiannya, Ambara Lawinei mengucapkan kata-kata yang selama ini tak pernah berani aku pertanyakan. Penyebab kematian putri dan suami Bethari, kematian Ayah dan Ibu, juga teror yang dialami Satomi. Satu persatu tragedi di sekeliling kami terurai menjadi satu rangkaian, yang sepertinya bukan kebetulan. Entah kenapa, aku yakin Ambara Lawinei mengetahui semuanya.

Aku tersentak, ketika Ambara menepuk lenganku. “Ajaklah makai (makan) kakakmu, Dom.” 

Gerimis turun sedari sore. Kedatangan Bethari ke bentala Borneo disambut langit yang berubah murung, cuaca tak mendukung sejak senja turun. Menuju malam, hujan kian kerap, tiupan angin mulai kencang. Semua penghuni kabin ini khawatir gerimis akan berubah jadi badai seperti minggu lalu.

“Kita makai sekarang, Umang (11)?” 

Bethari menoleh, ia terlihat gugup. Lalu memandangku. “Nanti saja, Bu. Masih mau bongkar bawaan,” ucapnya. “Biar Kei bantu saya dulu.” Bethari menatap Ambara lekat-lekat, ia seperti mencoba mengenalinya. Ya, aku yakin Bethari tak hanya baru bertemu dengannya sekarang.

Ambara tergelak sambil mengibaskan tangan. “Tasnya cukup untuk beberapa potong baju. Tak usah dibongkar. Kalian makai saja dulu,” ajak Ambara. “Nanjan sudah menyiapkan meja.”

“Muatan emosi,” bisik Bethari ketika ia berjalan melewatiku. “Ayo makan, sebelum kita bicara.” 

Satu persatu makanan yang disiapkan Ambara Lawinei, kami lahap dengan suasana canggung. Aku khawatir, Bethari akan menceritakan sesuatu tentang kabar dari Jakarta saat makan, tapi ia memutuskan untuk tetap bungkam. Bahkan hingga makan malam usai, Bethari masih tampak asik berbicara dengan Nanjan. Ia mengotak-atik anyaman bambu yang sedang dikerjakan pemuda itu. 

Lihat selengkapnya