Hutan seperti menelan kehidupan makhluk-makhluk yang menghuninya. Pohon-pohon begitu tinggi, akar-akar menggantung, melingkar seperti jalinan rumit bemban yang dijalin. Keok misterius di kejauhan pada sore hari menjelang malam, selalu membuat bulu kuduk meremang, bahkan kesiur angin pun mengundang roma sanggup berdiri. Udara di hutan purba ini sungguh berbeda, oksigen tebalnya melapisi ruang, dua kali lipat lebih jernih dan kalis. Konon kata pepatah, jenggala adalah hutan yang melahirkan legenda. Misteri yang tak pernah ada satu makhluk hidup pun mengetahui. Alam telah melahirkan apa yang terbentuk di dalamnya, bersama prosesnya selama ribuan tahun. Mereka adalah makhluk purba yang dipercaya mewariskan petaka, bagi siapapun yang merusak ekosistem jenggala.
“Apa yang kamu pikirkan?” ucap Bethari, menatap kedalaman pohon yang rimbun dari jendelanya.
Kei berdiri tegak, sebelah tangannya berkacak pinggang, tangan lainnya memegangi kamera yang seharian tak dilepasnya. Ia menyusuri cahaya temaram sambil memicingkan mata, mengintip dari balik lensa yang disetel sedemikian rupa, agar bisa menembus kegelapan. Jendela di kamar Bethari, sengaja dibuka lebar-lebar, untuk memantau deras hujan dan cadangan air di kabin mereka.
“Aku ingin memperlihatkan sesuatu, sama kamu.” Kei memicingkan fokusnya ke arah gelap yang pekat. “Sesuatu yang sebulan ini, menggangguku.” Ia lantas menunjuk ke arah pepohonan yang berderet berhimpitan.
Bethari adalah makhluk urban, ia terbiasa menatap gemerlap. Tentu saja bola matanya mencoba menyesuaikan, pupil itu bergerak membesar. “Lihat apa?” Ia bingung.
“Di balik rimbun pepohonan itu, aku selalu bisa melihatnya.” Kei mengedik. “Makhluk-makhluk di sana, rasanya seperti mengawasiku.”
“Binatang buas?”
Sambil melengkungkan punggung, Kei kembali menunjuk ke arah utara, ke kedalaman hutan purba –yang jarang ditelusuri masyarakat adat di sana. “Menuju lereng, ada sumber mata air mengalir. Konon kata Apai Tuai di rumah betang, mata air ini tidak akan pernah kering, meski musim kemarau tiba. Warga rumah betang percaya, mata air yang selalu mengalir ini karena sikap menjaga alam dan melestarikan hutan suku adat mereka.” Kei masih terpaku pada sesuatu. “Kalau malam tiba, ada bunyi dengan frekuensi amat rendah, terdengar dari hulu sungai. Di sana, persis di sana,” tunjuknya.
Bethari meremas tengkuk sendiri. Sedari Kei bercerita tadi, bulu-bulu halus di lehernya ikut meremang. Ia tak punya kepekaan seperti adiknya sekarang ini, tetapi sejak kecil Profesor Malina mendidik mereka dengan cerita-cerita rakyat Kalimantan, tentang pelestarian hutan dan satwa-satwa di sana. Ia tak berani menentang dominasi alam, begitu menginjakkan kaki di tanah Kalimantan. Ia tahu, masyarakat adat di sana mengamatinya dengan awas.
Bethari mendekat ke arah jendela, ia menatap ke arah gelap yang ditunjuk adiknya. Pada satu titik, dipenuhi vegetasi pohon-pohon menjulang. Meski udara dingin menyelubungi, angin tidak bertiup kencang seperti sore tadi. Kali ini, hutan seolah berubah menenangkan, membius makhluknya yang mulai lelah dan mengantuk. “Kei… Bu Ambara dan Nanjan sudah tidur?”
Kei mengangguk. “Mereka tidur lebih awal, besok subuh harus ke kota.”
“Kalau nggak ada aku, kamu sendirian di kabin ini?”
“Profesor Dunham selalu ada di sini menemani, baru kali ini ia membiarkan aku tanpa penjagaan. Biasanya ada kerabat Nanjan, yang turut menginap dan membantu pengamatan burung.”
Bethari termenung, lanjur berucap, “mungkin karena ada aku.”