Mantikei dan Sang Panglima Rangkong Gading

Foggy F F
Chapter #13

Media Tanpa Mantikei

Sachita

“Damn, Sachi… this is good!” pekik Salman sambil menepuk bahuku dengan telapak tangan raksasanya. Membuatku terbatuk-batuk.

“Really?”

Ia mengangguk, menyeringai lebar di balik jenggot lebatnya. “Tapi… ini nggak menyalahi aturan, kan?”

Naaah… aturannya siapa?” Tanganku menepis. “Berita-berita seperti ini yang disukai publik.” 

Salman termenung, alisnya mengerut-ngerut, membuat seluruh bulu-bulu di wajahnya ikut bergerak. “Sachita….”

“Yes?”

“Tapi… aku kok jadi ragu.” Kini tangannya bergerak ke arah jenggot, memilin-milin. “Apa ini ide bagus?”

“Man, kamu bikin aku bingung,” decakku. “Of Course, this is genius! Coba kamu lempar ke rapat redaksi besok, pasti banyak yang menyetujui ideku.”

Ia melotot. “Jangan! Jangan dulu diumbar ke banyak orang, biarkan pembicaraan ini antara kita dulu.” Salman tampak berpikir, bola matanya bergerak-gerak. “Kamu yakin ini akan memancingnya kembali ke Jakarta? Berita tentang perusahaan itu?”

Aku mengangkat bahu. “Kita bisa mencobanya.”

“Sachi, kita nggak boleh sembarangan. Kita sedang memainkan perasaan orang yang sedang berduka. Dan berita tentang tawaran terbuka investasi dari perusahaan swasta ini, belum tentu benar.” Salman kelihatannya bimbang. Lelaki itu lalu duduk, sambil menangkupkan tangan di dagu. “Jangan sampai kita ikut-ikutan menyakiti dia. Tapi satu sisi, kita bisa mengungkap kejahatan perusahaan asing ini, dan kamu akan menyinggung proyek pemerintah.”

This is life, as a journalist,” ucapku pelan. "Semua punya resikonya sendiri-sendiri."

***

Ayunan langkahku terantuk batu sebesar genggaman tangan, yang akhirnya mengakhiri olahraga pagi ini. Jalur lari yang biasa aku tempuh dengan kecepatan tinggi, kali ini harus sedikit terhambat oleh perbaikan jalan menuju apartemen. Sedari fajar tadi, betisku sudah meronta minta istirahat sejenak, setelah dipaksa menjejak aspal berkilo-kilo jauhnya. Ingatanku terlontar ke raut Satomi, kali ini komunikasinya mulai membaik, wajahnya tak lagi menunjukkan sikap penolakan. Bahkan sepanjang malam, kami menikmati dua loyang martabak telur yang sengaja kubawakan. 

Sejak kedatanganku beberapa tahun lalu ke tanah air, aku terpaksa bekerja di media tempatnya bernaung. Media besar inilah, yang kemudian menjadikanku jurnalis terbaiknya. Sebuah kantor bertaraf internasional, yang konsisten menyasar tema sains dan teknologi. Katanya, media ini digadang-gadang bakal menyaingi Discovery dan National Geographic kawasan Asia Tenggara.

“Halo, Man?” Aku mengangkat ponsel yang terhubung ke perangkat audio nirkabel. “Ada apa?”

“Kok, ngos-ngosan?”

Aku berhenti sejenak, menaikkan volume speaker. “Abis jogging. Ada apa?”

Sesampainya di lobby apartemen, aku menyandarkan punggungku di dinding lift yang lengang. 

“Aku memikirkan usulanmu untuk mengangkat kasus kematian Profesor Sagara. Menurutku, itu bukan gagasan yang bijak. Oke sebagian besar hasil risetmu itu jenius, tapi… kurang manusiawi.” Ia menarik napas. “Anaknya adalah bagian dari keluarga besar perusahaan kita, Sachi. Are you out of your mind?? Aplagi kamu bakalan menyinggung proyek perusahaan rekanan pemerintah.”

Aku memutar bola mata. “Salman… kamu pikir aku nggak berpikir ke sana?” 

Ia tak menjawab. Diam.

“Aku sudah memikirkan ini jauh sebelumnya. Aku hanya ingin menyoroti peneliti Jepang yang hilang di Kalimantan Barat itu, dan apa yang dia temukan,” lanjutku dengan suara parau, sesuatu mengganjal di dadaku. “Man, Satomi itu kena depresi mayor. Dia nggak bisa aku jadikan narasumber. Satomi nggak kompeten untuk memberikan informasi panjang lebar soal keluarga Sagara. Satu-satunya cara itu, aku harus mengejar Kei dan kakaknya”

“Dia pernah dekat dengan keluarga Sagara, Sachita. Satomi tahu banyak hal soal garis keturunan Profesor Malina. Semua berangkat dari sana.” Ia menghela napas. “Itu sebuah titik mula.”

“Aku tahu.” Degup memanas di dadaku kembali terasa. Kenapa ada iri di hatiku?

“Hei, Sachita. Never mind, kamu nggak usah pikirin itu sekarang. Aku menelepon kamu, untuk kasih kabar, kalau Profesor Dunham sedang ada di Jakarta. Dia diundang untuk datang ke kantor.” 

“Oh, ya? Tahu dari mana?”

Salman menarik napasnya kembali, meniup speaker dengan sengaja. “Seseorang mengabariku dari Kalimantan. Sumberku memberi tahu, kalau Mantikei berada di kabin konservasi Profesor Dunham, dari awal ia menghilang.”

Aku diam, tak membalas ucapannya. Sampai kemudian Salman menyudahi percakapan. Keringat yang tadi meleleh di pelipis, kini menguap tertiup hawa pendingin udara di dalam lift. Betis yang tadi terasa letih, kini mulai berangsur kebas. Tubuhku tak lagi lelah, beralih ke beban pikiranku yang bertambah penat. 

Pulang ke Indonesia tak pernah menjadi pilihan terbaik untukku, terjebak di antara masalah yang menguji kewarasan saudara kembarku dan kasus yang mengekori lelaki itu terus menerus. Menjadi gemulung yang tidak juga reda, hingga bertahun-tahun. Meski nyaris berlalu sekian lama, kasus kematian Profesor Sagara semakin rumit. Kepergian Mantikei ke belantara Kalimantan dengan membawa seluruh data yang aku kumpulkan, membuatku betul-betul kelimpungan. Saudara kembarku menjadi irisan komplikasi di antara mereka semua.

***

Lelaki berdarah kaukasoid itu berwajah ramah, dengan lengan kemeja digulung sampai siku dan celana khaki sepadan dengan kulitnya yang bersih. Profesor Dunham tak tampak seperti lelaki renta di usianya yang sudah uzur, tubuhnya masih tegap dan rambut coklatnya pun masih lebat. Ia tertawa terbahak ketika Salman memprovokasinya dengan humor Swedia, dan bahasa yang belepotan. Namun Profesor Dunham tetap tertawa tak dibuat-buat, bahu dan tubuh besarnya ikut bergetar. Aku seperti mengingatnya di masa kecilku dulu. Ya, aku merasa pernah melihatnya.

“Nah, Sachita ini dulu pernah ditugaskan ke Eropa Timur, Prof.” Salman mengedikkan dagunya ke arahku. “Dia dulu jurnalis khusus untuk daerah-daerah yang kurang populer,” ledeknya.

Lihat selengkapnya