Beberapa kali getaran ponsel di saku tas terasa sampai betisnya. Posisi Bethari yang diapit oleh Mantikei dan Nanjan, terlihat sempit di perahu motor yang tak begitu besar. Kecipak air di sungai berwarna coklat itu menandakan sesuatu bergerak mengikuti riak air, laju motor menakuti spesies yang tengah berenang di permukaan.
“Ikan toman, Kak.” Nanjan seolah bisa membaca pikiran Bethari, pandangannya menelusuri sisi sungai. “Ikan khas sungai ini.”
“Enak dimakan?”
Ia mengangguk dan menyeringai lebar. “Enak sekali. Sayang Kak Bethari hendak pulang, Indai bisa masak toman asam pedas. Kak Bethari pasti suka.”
Kei terkekeh, sambil memandang langit yang terik.
“Kenapa tertawa?” Bethari menutupi silau dengan telapak tangannya. Ia menunjuk ke arah riak yang terurai laju mesin diesel. “Banyak toman di sini.”
Kei menatap langit dengan senyum tersungging, lantas melirik kakak perempuannya. “Selama di hutan, nafsu makanmu naik berlipat.” Ia mengamati ujung sungai yang mulai terlihat, beberapa perahu motor ditambatkan ke sebuah bilah kayu besar. “Bu Ambara ternyata punya pengaruh besar menaikkan selera makan orang-orang di kabin. Bu Ambara sangat menyukaimu.”
“Ambara Lawinei pandai mengolah hasil bumi,” sahut Bethari di antara deru mesin. Ia menunduk setiap kali menyembut nama Ambara Lawinei.
Kei mengangguk, ia mengedik ke arah Nanjan. “Masyarakat adat di sini sangat menghargai tamu mereka. Bahkan hingga pemuda seperti dia pun, tahu bagaimana memperlakukan tamu.”
“Kei….” Bethari memotong, wajahnya tiba-tiba merengut. “Aku khawatir sama kamu.”
Kei menunduk, mengintip wajah Bethari dari bayangan lidah topinya. Ia beringsut mendekat, bahu mereka bersentuhan. “Jangan khawatir, Thar. Aku akan baik-baik saja. Apa yang kamu lihat semalam, belum tentu mengancam. Hal-hal asing tampak menakutkan bagi mereka yang belum mengenalnya, apalagi di alam bebas begini.”
Bethari menggeleng. “Kamu jangan melakukan kebodohan, alam di sini berbeda. Kita nggak bisa memprediksi tingkat bahaya setiap satwa buas, bencana alam, bahkan jejak pemburu liar yang sedang kalian selidiki.”
Wajah Kei melembut, ia tahu Bethari ketakutan karena pengalaman yang dibaginya semalam. “Aku janji kasih kamu kabar secepatnya,” ucapnya tenang.
Bethari tak bisa berkutik. Ia tahu adiknya telah berkomitmen pada almarhum orang tua mereka. “Aku nggak paham.”
“Kita menggunakan pemahaman manusia, Thar. Yang kita hadapi alam bebas, kemampuan kita hanya bisa diukur oleh skala manusia kota. Beda dengan di sini.” Kei mengedarkan pandangannya. Perahu telah berlabuh di dermaga, beberapa orang ikut membantu membawakan barang-barang yang diangkut Nanjan. Para nelayan menyapa mereka.