Mantikei dan Sang Panglima Rangkong Gading

Foggy F F
Chapter #15

Rampak Jenggala

Mantikei

Semburat sinar mengintip dari celah jendela, pekik monyet dan kesiur angin menghantarkan harmoni selamat pagi. Dini hari aku baru sempat mengistirahatkan tubuh.

Profesor Dunham terkekeh melihatku menggeliat menghadapi layar monitornya yang sudah usang. Sambil menelisik wajahku, menunggu aku bercerita.

“Apa?” tanyaku sambil mengedik. “Any news?

“Naah….” Ia mengibaskan tangannya. “Tidak ada yang baru.” Lalu ia diam sejenak, seperti teringat sesuatu. “Aku pernah membantu ayahmu melakukan nekropsi di Taman Nasional Tesso Nilo.”

“Riau?” Aku memicingkan mata. “Satwa apa?”

Laki-laki paruh baya itu mengangguk. “Gajah. Ia kehilangan satu gadingnya saat mati, ada kandungan racun di tubuhnya.” Ia mengambil napas. “Ulah manusia.”

Nanjan masuk ke ruangan kami, ia ikut mendengar percakapanku dan Profesor Dunham, sambil menaruh dua cangkir kopi di meja kerja Profesor Dunham yang awut-awutan. “Aku kira Profesor hanya mempelajari burung?”

Dunham tergelak. “Aku hanya ikut membantu Arifin. Keahlianku menyelidiki perburuan satwa liar, ternyata bisa ikut melacak terduga pelaku. Waktu itu, kita sampai pada penjatuhan hukuman di persidangan.”

Aku mengamati wajahnya yang berubah serius. “Ibuku turut serta?”

Dunham mengangguk. “Malina selalu yang paling depan dalam pengungkapan kejahatan terhadap satwa liar.” 

Nanjan menyandarkan punggungnya di kursi, ia ikut bersuara. “Bahkan alam seringkali rindu pada ibumu, Akak.”

Aku tersedak ampas kopi. “Maksudmu?”

Nanjan memicingkan matanya ke ujung hutan, tatapan itu bersirobok denganku ketika ia melanjutkan lagi kalimatnya. “Beberapa waktu lalu, ketika Profesor Malina masih ada, sering hujan deras di sini. Sang panglima burung selalu mengambil biji ara untuk anak istrinya, setiap kali Profesor Malina memutar kursi rodanya di tempat luas di sana. Mereka kini, seperti menunggu.” Nanjan lalu menaruh biji ara kering di meja. “Panglima burung menunggunya kembali ke rampak jenggala.”

Profesor Dunham menatapku dan Nanjan bergantian. Lalu ia mendengkus dan terkekeh. “You’re such an artist, Nanjan!” 

Aku melempar tatapanku ke penghujung belantara yang tak tampak oleh mata. Menghirup sebanyak-banyaknya udara yang kalis sepanjang paru-paruku sanggup memompa. Di antara baris pepohonan pemasok oksigen terbesar di muka bumi ini, ada kesunyian yang mematikan. Namun, aku bersyukur bisa mengenali jejak yang ditelusuri ibuku di hutan ini, di balik banyak derita dan cobaan yang aku hadapi. Kisah tentang kedua orang tuaku, sanggup menghidupi selama menjauh dari pikuk ramainya kota.

“Apa yang kamu pikirkan Mantikei?” Profesor Dunham menegur. Ia menatapku penasaran. “Mau pengkang?” Ia menawarkan sepiring makanan wangi yang dibungkus daun pisang.

Indai yang buat, Nanjan?” Aku melirik pemuda yang masih terpukau menatap ke luar jendela. Wajahnya seperti masyarakat adat lainnya, saat khawatir akan kondisi hutan tempat mereka tinggal.

“Iya, Akak. Ada sisa ebi dan beras ketan dari kota.” Ia diam, terlihat tak fokus. 

Aku manggut-manggut sambil mencomot satu buah untuk dikupas. “Wangi.”

“Daun pandan, Akak. Indai menanam pandan di dekat sini.” Nanjan mengupas satu buah pengkang untuk dirinya sendiri. “Kesukaan aku ini, Prof,” ucapnya, mengacungkan makanan dari beras ketan itu ke arah Profesor Dunham. 

“Hmm–” Profesor itu hanya menggumam sambil mengunyah pengkang miliknya. “Malina juga suka sekali makanan ini… ibumu,” ucapnya sambil melirikku. Dunham tak seperti bule kebanyakan, ia menikmati setiap makanan di pulau ini, seperti masyarakat lainnya.

Legit beras ketan dan isian ebi yang tengah kukunyah, seolah berubah getir ketika Dunham mengatakan itu. “Oh ya?”

Ia mengangguk, lalu menambahkan, “tanya Nanjan. Ibunya dan dia tahu, kalau Malina selalu minta dibuatkan pengkang, kalau sedang ada anak udang.”

“Ebi, Prof.” Nanjan membetulkan. “Iya Akak, Ibuk Malina amat suka pengkang ebi.”

“Ya… itu,” tangkis Profesor Dunham, sambil mengacungkan pengkang-nya yang kedua. “Dia suka anak udang.”

Aku tersenyum kecut. 

“Waktu kamu tidak ada, saya dan Bu Ambara di sini sibuk menghalau air hujan, dan menyelamatkan berkas,” ucap Dunham sambil mengunyah.

Aku menengadah, mengintip langit yang cerah di balik rimbun dan kerap daun berhimpitan. Nyaris tak ada jejak hujan. Sinar mengintip di antara celah ranting dan batang yang menjulang, lumut hijau keemasan tampak tebal menghantar warna sejuk ke pelupuk mata. 

“Tahun-tahu kemarin, hujan ribut bikin kita semua pontang panting di sini.” Nanjan bicara dengan tangan bergerak-gerak. “Indai menghalau hujan dari atap kami yang bocor-bocor.”

Lihat selengkapnya