Mantikei dan Sang Panglima Rangkong Gading

Foggy F F
Chapter #16

Perahu Karam

Sachita

Masa Kini

Tubir perahu bergemeretak, ketika arus kian deras. Jalur batang air membelah sempurna, membentuk pola bergelombang. Air sungai yang bermuara di Kapuas itu berwarna coklat, berganduh bersama material koloid yang dibawa dari hulu sungai –berupa lumpur koloid perairan gambut. Namun, tak seperti air kotor berlimbah, air sungai di sini membawa beragam spesies di bawahnya, dari ikan baung hingga buaya senyulong. Mereka terhantar arus, terbawa dari habitatnya dan dianggap mengganggu warga sekitar, begitu yang tertera di laporan kawan-kawan peliput.

Aku menyapu pandanganku ke bibir sungai, menelusuri apa yang bisa kukenang dalam perjalanan pertamaku ini. Sejauh air menghampar, sepanjang itu pula kecemasan di dadaku berdegup-degup. Kini aku tengah menghampiri mara bahaya, hati kecilku membaui itu saat menyanggupi Salman untuk mencari lelaki itu ke belahan Borneo bagian barat. Namun –tak seperti Mantikei– yang berdarah asli pulau ini, aku tak akan menerjunkan diri ke belantara hutan, tanpa pengetahuan sama sekali. Aku bertahan sebagai seorang pendatang, sebelum aku merangsek masuk dan menjadi penghuninya. 

“Kakak datang dari Jakarta?” Seorang nelayan yang membawaku ke pusat konservasi, bertanya. Ia menatap ranselku yang berat. Lalu mengedik, “akan lama tinggal di sini, Kak?”

Aku mengangguk, lalu membuang pandanganku kembali ke tengah sungai yang lebar. “Masih jauh?”

Tiba-tiba ia mendongak, menatap langit yang berubah gelap. Angin kencang datang menderu laju perahu motor kami yang besarnya tak seberapa. Menggoyang atap yang terbuat dari kayu dan seng, hingga suaranya yang berdengking nyaris menyobek gendang telinga.

“Kita harus tiba, sebelum banjir bandang datang lagi menghalau perjalanan,” ucapnya sepintas. Membuat debar jantungku kembali bertalu-talu. 

Sambil merapatkan jaket, mulut ini tak henti merapal do’a. Aku sudah mempersiapkan semua, dari semprotan serangga hingga penghalau ular, yang botolnya kini berjatuhan, saat hendak mengeluarkan ponco hujanku. “Masih jauh?” teriakku lagi.

Ia sibuk menghalau deras gerimis yang menyentuh badan perahu, bibirnya komat-kamit.  

Dalam hitungan menit, seperempat badan perahu terisi air akibat hujan yang terlampau deras, arus batang air tiba-tiba meninggi. Rimbun pepohonan di bibir sungai semakin jauh semakin kerap, memohon pertolongan pun akan sulit di pedalaman hutan begini. Tiba-tiba dari arah belakang perahu, arus membesar menciptakan gelombang, sanggup melumat siapapun yang terapung di permukaan air. Perahu yang aku naiki nyaris terbalik dan menghunjam tepian, menabrak batu besar yang membelah cabang sungai menjadi kelokan kecil. Aku menggunakan ranselku sebagai penopang, sebelum betul-betul hanyut. Kakiku menggapai sisi batu besar, dan menyelipkan tubuhku di sana. 

Tak berapa lama, pekik orang dari pinggir sungai terdengar sampai ke arahku yang mulai menggigil dan lemas. Sambil berpegangan pada ransel yang terkait di sela batu, aku meremas tali ransel yang mulai bergerak-gerak nyaris terbawa arus.

“Di sana… ada tubuh terselip di batu besar!” 

Dari daratan, searah datangnya air bah, aku melihat orang berlarian. Mereka membawa kayu besar. Salah satu dari mereka bersiap masuk ke dalam air. Jangan gila! pekikku dalam pikiran.

Dadaku mulai megap-megap mengambil udara, kerongkonganku kian banyak menelan air. Persis ketika tanganku sudah lemas dan tak mungkin lagi untuk memegangi ransel yang nyaris hanyut, sebuah lengan melingkar di pinggangku, menarik sekuat tenaga.

“Lepaskan ranselnya!” perintahnya di telingaku. “Lepaskan, dan percaya padaku!”

Kepalaku limbung. Bisikan itu memerintahkan setiap sendiku bergerak. Aku menggamit lengan penolongku, dan melemaskan tubuh untuk dibawanya mengapung di arus yang deras. Mengikuti aliran sungai yang menghanyutkan, tubuhku terkulai di bibir daratan berlumpur. 

“Sachita…,” bisiknya. “Sadarlah.”

Lamat-lamat, kelopak mataku terbuka, mengamati rimbun dedaunan yang menaungiku dari air hujan. Wajahnya tepat di hadapanku, lengannya masih melingkar dengan sorot penuh kecemasan. 

***

Mantikei

Wangi rebusan jahe dan daun pandan, menguar dari celah pintu dapur Ambara Lawinei. Aku sengaja tak menaruh tubuhnya untuk beristirahat di kabin kami. Biarkan Bu Ambara yang menjaga dan mengawasinya hingga siuman. Perempuan setengah baya itu punya dua tangan terampil yang bisa merawat tubuh Sachita yang malang.

Duduk di pekarangan rumah bambu, merasakan sejuk jejak hujan sore tadi. Aku nyaris mengantuk karena lelah. Hutan mulai sepi ketika malam sudah turun, gelap dua kali lipat lebih pekat di bawah bayang pohon-pohon menjulang. Kedua bangunan tempat tinggal kami seperti ditelan jelaga. Sinar lampu lentera LED mengarah ke pintu masuk di belakangku. Aku terhenyak, ketika suara langkah kaki mendekat tiba-tiba, menginjak dedaunan kering dan membuyarkan mimpi burukku tadi sore.

“Dia kawanmu dari Jakarta, Akak? Dia sungguh pemberani, bisa melawan arus banjir bandang.”

Aku mengangguk, dan meraih cangkir yang ia sodorkan. “Jahe?” 

Lihat selengkapnya