Pada Sebuah Titimangsa di Masa Lalu.
Brak!
Satomi menoleh malas-malas, tahu betul darimana sumber suara itu. “Apa lagi sih, Kei?”
Lelaki itu memicingkan mata, dengan tangan di pinggang, dadanya naik turun. “Kamu mengedit narasiku, Tomi.”
Satomi melirik polahnya yang seperti anak kecil itu dengan tatapan malas. Ia tak pernah takut akan emosi Kei yang suka tiba-tiba meledak. Meski begitu, suara lelaki itu membuat seluruh penghuni ruang redaksi menoleh.
“Terus, menurutmu aku harus bagaimana?” Satomi ikut berkacak pinggang.
“Kamu nggak bisa mengurangi esensi berita, demi kelayakan berbahasa ‘kutu kupret’ yang selama ini kamu elu-elukan itu.”
Gelegak amarah dan matanya yang melotot membuat Satomi makin terkekeh geli. Mantikei Putra Sagara dan manajemen emosinya yang begitu unik. Tingkahnya yang meledak-ledak, selama ini menjadi hiburan bagi dunia Satomi yang monoton. Mereka adalah sahabat dengan daya tarik berlawanan. Satomi tahu dibalik segala sikap kasarnya, Mantikei begitu peduli pada orang-orang terdekatnya.
“Tomi… please, kamu harus berhenti melindungi aku. Apa yang aku tulis mengandung kejujuran. Kamu nggak berkewajiban untuk selalu memperhalus judul liputanku.”
“Hei, kamu memanggilnya bangsat, Kei,” damprat Satomi.
Ia lalu tergelak. “That’s my point, aku nggak bercanda dengan panggilan itu.”
Satomi cuma bisa geleng kepala mendengar pembenarannya. “Dia perdana menteri, for god sake.”
“Untuk negara yang mengeruk banyak keuntungan dari sumber daya alam kita.”
Satomi memutar bola matanya. Tapi tak cukup alasan baginya untuk memuluskan keinginan Kei, memajang judul provokatif itu di sampul muka. “Apa kabar Ibu?” alihnya.
“Masih sama, beliau masih bimbang dengan keberangkatan Ayah ke sana. Sementara ia tak boleh ikut.” Ia menunduk, memainkan lensa panjangnya. “Menurutmu ayahku bakal nekat berangkat?”
Tiba-tiba Satomi merasa ada yang ganjil. “Kamu takut dengan apa yang sedang dikerjakannya? Atau kamu khawatir dengan kondisinya yang masih terluka?”
“Tomi… orang tuaku baru kehilangan cucu dan menantu. Kalau mereka melarutkan diri dalam pekerjaan, tentu ini tak sehat. Aku khawatir dengan Ibu.”
Satomi meringis, membicarakan kedua orang tua Mantikei yang ilmuwan itu, membuatnya segan. “Kenapa mereka nggak mendekati Bethari yang saat ini sedang berduka?”
Kei diam sejenak, lalu mengangkat bahu. "Aku nggak paham, kenapa cara mereka memperlakukan Bethari dan aku sangat berbeda. Bethari seolah dibiarkan menjauh, sementara aku diberi bekal segala macam agar mengikuti jejak mereka."
“Kei…,” bisik Satomi. “Mungkin itu cara mereka melindungi saudara perempuanmu, sementara kamu... memang diarahkan untuk menjaga mereka. Aku yakin mereka punya keyakinan terhadap kamu."
"Keyakinan apa? Untuk melakukan upaya konservasi di sana juga?"
"Aku nggak tahu," jawab Satomi.
Kei menatap Satomi bimbang, lantas mengalihkan pembicaraannya. “Saudara kembarmu betulan menolak lamaran majalah kita? Aku lihat artikel dia untuk rain forest conservation forum… sangat bagus.”
“Iya, ia masih ingin tinggal dengan Obachan (nenek) di Kyoto. Sachita tidak mau kembali ke sini, kalau bukan karena aku. Ia pernah sangat kehilangan sosok kakek kami, wajarlah dia sangat melindungi dirinya... tidak mau merasakan kehilangan untuk kedua kali.”
Mantikei melongo menatap wajah Satomi, tapi ia melanjutkan bicara. “Ini kan media tempatmu bekerja. Kenapa dia nggak mau membantumu?”
Satomi kemudian diam, ia mencari kalimat yang tepat. “Sebagai saudara kembar, Sachita pernah berjanji akan membelaku saat aku membutuhkan dia, begitupun denganku. Maybe someday, tapi untuk kembali ke Indonesia, dia masih belum mau” ucap Satomi pelan.
Wajah Kei yang tadi merah padam, lambat laun mulai melembut. “Dia baik seperti kamu?”
Satomi tergelak mendengar kata-katanya, lalu geleng kepala. “Sachita itu… pahit dan sinis. Sebetulnya, kembaranku ini mengingatkan aku sama kamu.”
Kei mengangkat kedua alisnya bersamaan -alih-alih galak- wajahnya tampak lucu. “Kenapa?”
“Entahlah, buatku… orang-orang seperti kalian bersikap keras, karena melindungi sesuatu di dalam.” Satomi menunjuk dadanya. “Hati mereka yang rapuh.”
Celoteh karyawan ruang redaksi, membuat Kei beringsut. Ia pun berdiri. Sebelum keluar dari ruangan, Kei membalik badan dan memicingkan matanya. “Saudara kembarmu… dia masih sendiri?”
Satomi tertawa keras. Baru kali ini, laki-laki kaku di hadapannya bersikap seperti lelaki sewajarnya. “Mau aku kenalkan?”
Kei menggeleng, warna mukanya tak bisa ditebak. “Nanti aja, kalau urusan pekerjaan besar sudah beres.” Ia tampak berpikir keras. “Aku akan berangkat ke Tolikara.”
Satomi tersenyum lebar. “Aku ikut denganmu, Mantikei. Aku akan berangkat, satu tim denganmu.”
Wajah Kei kembali memerah, rahangnya mengeras. “Hei, jangan main-main. Tolikara itu daerah konflik. Dan yang mau aku liput bukan sekadar tempat berlibur. Kamu ini editor, nggak sepantasnya berada di sana.
Satomi hanya mengibaskan tangannya. “Kan, ada kamu.”
Kei terbelalak, ia lantas berlalu. Terbersit perasaan tak enak di benaknya. Kei hendak meliput konflik bersenjata di wilayah Timur Indonesia, kali ini ia merasa nyalinya tertantang untuk turut serta. Satomi sudah berjanji, judul ini adalah judul liputan terbaik di penghujung tahun ini.
***