Mantikei dan Sang Panglima Rangkong Gading

Foggy F F
Chapter #18

Mata-Mata Menyala

Bunyi pemutar video analog itu bising seperti suara kertas diremas, celoteh gadis balita menjadi latar di kejauhan, Malina Munau Sagara terbahak-bahak menanggapi ulah kenes sang cucu yang mengajaknya bersenda gurau. Dari kursi rodanya, ia melempar bola ke arah cucu perempuannya. Pakaian mereka serba biru, persis warna langit yang menaungi hari indah itu. Lilin yang baru saja ditiup Amanda, sudah meleleh menimpa lapisan gula di atas permukaan kue. Mereka semua tertawa, menikmati kedekatan satu sama lain sebagai satu kesatuan utuh, keluarga Sagara.

Tak lama, lensa menyoroti kedatangan sang paman yang membawakan seperangkat permainan tradisional bambu dari Sumba. Kei memang selalu penuh kejutan, ia berdiri sambil melirik Ayah yang baru keluar dari lubang semedinya di laboratorium. Arifin Sagara tersenyum lebar, ketika Amanda melingkarkan lengan mungilnya di leher sang kakek.

Lekas, Bethari memijit tombol merah di pemutar video. Tak kuasa menahan bola mata yang basah, dadanya sesak bergemuruh diliputi oleh rasa duka yang pedih. Ia jatuh terduduk di kursi ruang tengah rumah orang tuanya. Satu persatu orang terdekatnya diambil. Rindunya pada putri semata wayangnya tak pernah tuntas, rindunya pada kedua orang tua mulai tumbuh dan menghebat. Ia begitu menyesal telah kembali ke sisi orang tuanya, padahal mereka sudah menyuruh Bethari menjauh. Tapi keberadaan putrinya kembali merekatkan kedekatan mereka, orang tuanya tak kuasa melawan pesona Amanda hingga semua harus merasa kehilangan lagi.

Suami dan anaknya direnggut paksa malam itu. Mobil yang mereka kendarai terjun ke jurang di Puncak Bogor, menyisakan puing dan abu. Polisi menyatakan sang sopir lalai karena mengendarai mobil sambil merokok, suami Bethari membuka jendelanya tanpa melihat truk dari arah berlawanan. Begitulah hasil penyelidikan polisi, ketika menemukan beberapa puntung rokok di dalam mobil yang dikendarai ayah anak itu. Satu hal yang tak pernah Bethari bicarakan pada siapapun, kenyataan bahwa suaminya tak merokok. Ia tahu, bahaya senantiasa mengintai keluarga besar mereka sejak ia kecil, seperti ia juga tahu apa yang terjadi di hidupnya tak cuma kebetulan.

Air mata tak pernah jatuh berderai di pipi Bethari hingga malam ini, lambat laun ia mengubur dalam-dalam setiap perasaan tak adil yang muncul mengendap-endap, mempertanyakan apa yang ganjil. Fakta bermunculan, beragam pertanyaan terlintas di kepala, apalagi beberapa orang sempat mendatangi dan memberikan kesaksian akan keterlibatan orang asing pada kasus kematian anggota keluarganya. Semua membingungkan bagi Bethari. 

Beberapa rak yang sudah dibersihkan dan tembok yang sudah berganti warna, tak membuat rumah itu melupakan siapa penghuni lamanya. Profil dan jejak Malina Munau tetap melekat dalam ornamen dan ruangan yang dirancang. Rumah itu tetap terlihat seperti tempat lama, rumah Bethari bertumbuh menjadi seorang putri Sagara, anak pertama dari dua orang ilmuwan ternama tanah air. Arifin Sagara dan Malina Munau tak menyisakan sedikitpun ruang bagi Bethari untuk menjadi orang biasa-biasa saja, ia selalu diikuti oleh pandang dan penilaian, bahwa kelak dirinya akan tumbuh cerdas dan hebat seperti orang tuanya. 

Menjadi manusia biasa-biasa saja, sudah menjadi obsesi Bethari sepanjang hidup. Karena sejak dulu, sebagai anak ayah dan ibunya, Bethari tumbuh menjadi pribadi pemberontak. Tak pernah menuruti keinginan orang tua, tak mengerjakan tugas di sekolah, hingga bolos tiap jam pelajaran adalah salah satu ulahnya menyatakan siapa dirinya. Semua adalah cara Bethari memberitahu: Aku bukanlah mereka.

Sampai kelahiran Amanda –putrinya– sanggup merekatkan kembali Bethari dengan orang tuanya. Arifin Sagara dan Malina Munau menaruh respek pada Bethari, karena sanggup membesarkan seorang putri tanpa ulur tangan siapapun. Malina seolah ingin menebus waktu yang hilang dari kehidupan Bethari. Ia berusaha menggantinya, dengan cara menyayangi Amanda sepenuh hati.

Namun semua porak poranda. Bethari dan orang tuanya kembali ke kehidupan masing-masing dengan jarak melebar. Malina mengikuti kemanapun langkah Arifin, larut dalam observasi dan riset. Dua manusia penting dalam hidup Bethari tak lagi hadir, orang tuanya larut lagi mengabdikan diri mereka di dunia saintis, tanpa melihat kehidupan putrinya yang hancur berantakan.

Di ujung ruangan besar serbaputih, Bethari menatap kursi roda menghadap jendela besar. Kosong, kehilangan pemiliknya. Malina dan kursi roda itu telah melekat sejak puluhan tahun lalu. Persis di seberang ruangan utama, adalah tangga menuju ruang bawah tanah, tempat Arifin Sagara bekerja. Di sanalah ayahnya mendedikasikan diri dalam dunia biologi molekuler. Dulu sekali, Bethari tahu kalau ayahnya meneliti sebuah ekosistem konservasi yang sedang dipelajari Profesor Malina, kemudian ia menemukan sebuah objek penelitian. Sejak itu Bethari dan adiknya, kehilangan figur seorang ayah karena kesibukan Arifin.

Bethari berjalan menuruni tangga, menyusuri dinding dengan kedua telapak tangan, permukaan temboknya dingin dan lembab. Puluhan tahun, Bethari tak pernah mengunjungi tempat itu lagi. Tempat favorit masa kecilnya itu terasa sunyi, meski pencahayaannya cukup besar. 

Pintu geser yang terbuat dari baja dan kaca itu disemprot secara elektrostatik agar tahan dari korosi dan debu. Di sanalah, rak dan lemari berjajar berjarak. Semua berkas sudah diperiksa oleh polisi, beberapa bahkan ada yang diambil untuk kepentingan pengembangan biologi molekuler berbagai universitas. Tapi Bethari yakin, tempat tersembunyi itu tak tersentuh.

Sampailah Bethari di ujung tembok, tempat sebuah lemari berdinding kayu usang berdiri kokoh. Waktu kecil, ayahnya kerap mengajak datang hanya untuk menunjukkan kalau lemari kayu itu punya akses terselubung. 

Sambil menggerakkan sebuah buku tebal bersampul “Biologi Molekuler Sel”, ia memutar tuas ke arah berlawanan jarum jam. Pintu lemari bergeser beberapa senti, mencipta celah. Sambil mendorong agar celahnya melebar, Bethari memaksakan tubuhnya masuk, bau apek dan lembab pun menguar. Lubang-lubang ventilasi di sisi dinding ruangan seadanya itu, mengembuskan udara agar berganti. Ruangan rahasia tempat segala jenis pekerjaan Arifin Sagara pun terkuak. Beberapa potongan kenangan merangsek memenuhi kepala Bethari, inilah ruangan tempatnya diberi tahu banyak hal oleh sang ayah waktu kecil.

Bethari berjalan menuju meja. Entah apa yang membimbing, ia ingat ada sesuatu di bawah permukaan kayunya, sebuah ukiran berbentuk burung enggang melapisi lemari kecil. Dengan gagang berupa bendul kayu besar serupa paruh, Bethari membuka lemari kecil di bawah meja. Ada debar aneh ketika menyentuh, perasaan was-was dan rasa penasaran menjadi satu. Beberapa berkas dan foto-foto tergeletak di dalamnya. 

Bethari mengamati sebuah foto usang, sepasang binar merah pernah dilihatnya di belantara hutan tempat Kei kini berada, nyalanya tampak jelas di foto itu. Sepasang mata bersinar, di balik kegelapan rimbun pepohonan. Bethari bisa merasakan, sepasang mata api mengamati siapapun yang mengambil gambar ini. Ia membalikkan foto, dan menemukan tulisan yang dikenalinya sebagai tulisan Arifin. 

“Borneo, 17 Agustus 2004”.

***

Terik matahari pagi kota Jakarta, merambat turun dari ubun-ubun hingga punggung, melelehi kulitnya dengan butir-butir keringat. Beberapa pedagang yang sudah dilarang berjualan, masih membandel menjajakan makanan di atas roda-roda. Salman Alfarisi salah satu yang ikut merayakan kebebasan mereka dari keteraturan. Sambil mengeluarkan selembar uang berwarna hijau, ia membeli sepiring ketoprak.

Lihat selengkapnya