Mantikei dan Sang Panglima Rangkong Gading

Foggy F F
Chapter #19

Panglima Rangkong Gading

Sachita

Sebuah Titimangsa di Masa Lalu.

Di luar gedung lantai 5, seekor burung mematuk kaca jendelaku. Suaranya pelan, seolah hendak mengajakku berkomunikasi. Seperti magnet, burung itu menyihirku untuk melangkah ke arahnya, agar menyentuh permukaan kaca dengan satu telapak tangan. Ia bukannya terbang menjauh, malah memilih diam dan menatapku dengan sorot mata mungilnya. Ia mematuki kaca, tepat di telapak tanganku. Seolah bicara, burung itu mengirimkan perasaan damai yang ganjil, perlahan merayap naik ke pangkal lengan, membuat jantungku berdebar pelan. Interaksiku dengan si burung diganggu oleh kehadiran Salman.

“Sachi… rapat?” Ia menunjuk ke luar dengan jempolnya. “Semua lagi nunggu kamu.”

Kembali menapak bumi, aku menatapnya bingung. Obrolanku dengan si burung, sungguh aneh dan belum pernah terjadi sebelumnya.

“Are you okay?” Wajah Salman tampak heran. “Mukamu pucat.” Salman mengibaskan tangannya di hadapanku. “Soal Kei?”

Tentu saja aku menggeleng. “Aku baik-baik aja, Man. No worries.

“Aku sudah dapat info tentang dia.” Salman memijat pelipisnya.“Aku nggak mengerti, Sachi. Kenapa dia tiba-tiba mengobrak-abrik data yang kamu punya, soal area konservasi satwa langka di Kalbar. Apa ini soal perburuan ilegal?”

Aku menggeleng. “Nggak cuma itu, Man. Di sana masih ada area hutan primer. Ada sesuatu yang dilindungi oleh Profesor Sagara dan istrinya, agar tak jatuh ke pihak yang tak bertanggung jawab,” bisikku. “Aku yakin, Kei berusaha melindungi itu, dengan mengambil data-data yang aku punya. Mmm... ini semua mengarah ke para peneliti Jepang yang hilang.” 

“Seseorang yang kamu kenal?" Salman mengalihkan, ia tak mau aku bersedih. "Apa? Tambang mineral atau apa yang ada di sana?”

Aku mengangkat bahu. Wajah Salman kian bingung. “Cagar konservasi di sana, adalah rumah untuk berbagai spesies tumbuhan dan satwa liar.” Aku menelan ludah.

Salman menelisik. “Pasti ada sesuatu yang penting untuk Kei sampai menghilang sekian lama, demi berangkat ke tempat misterius itu. Aku yakin Kei penuh perhitungan.”

Aku mencerna kata-kata Salman. Kei tak pernah memohon bantuanku selama ini, tapi kenyataan bahwa ia memohon-mohon untuk melihat informasi yang kumiliki tentang keterkaitan para peneliti Jepang, Profesor Dunham, dan konservasi satwa liar yang diteliti orang tuanya, membuatku makin yakin kalau ini lebih dari persoalan mengungkap pembunuhan. Kei mau menyelamatkan sesuatu. Otakku berputar, mencerna setiap kemungkinan.

Salman masih berdiri sambil berkacak pinggang. “Sachita.”

“Ya?”

Ia menepuk jam di pergelangan tangannya. “Meeting.”

Aku menepuk dahi, lantas melesat keluar menuju ruang rapat yang sudah dipenuhi oleh rekan-rekan kerjaku yang lain. Wajah lelaki keturunan Dayak itu masih memenuhi kepalaku.

Mantikei

Borneo, masa kini.

Sejak perahunya terbalik beberapa hari lalu, perempuan itu selalu mengekori langkahku meski jalannya masih terseok. Ia mengamati dengan sangat awas. Jalannya tertatih, Sachita sedang memperhatikan Profesor Dunham yang sedang menyebarkan biji tengkawang di sebuah area berlabel merah.

Dunham terkekeh, melihat betapa keras kepalanya perempuan itu berusaha mengikuti rutinitas kami. Profesor gaek itu menyurvei, mencatat, dan melaporkan kegiatan burung-burung di habitatnya. Ia mengacungkan telunjuk ke puncak pohon. “Lihat itu, Sachita.” 

Sachita menoleh ke arah yang ditunjuk olehnya, sambil melangkah dengan susah payah. “Selain perburuan, perambahan hutan yang masif juga dapat menjadi penyebab penurunan populasi rangkong gading, Prof?”

“Seharusnya, saya mendapat asisten sepertimu dari awal, bukan dia.” Dunham mengedik ke arahku.

“Kenapa dia Prof?” Tak kalah mengesalkan, Sachita ikut berkomentar. "Tidak secerdas aku?"

“Lihat saja polahnya, sibuk mencari objek foto menarik untuk diabadikan, siapa tahu bisa mendapat penghargaan lagi dari Sony.” Dunham tergelak. "Bukannya mengawasi area merah."

“Hei, aku ada disini. Telingaku masih berfungsi.” Aku melempar satu buah biji tengkawang ke puncak pohon, yang kembali dengan tukikan tajam. “Kalau bisa sambil menyelam minum air, kenapa nggak?”

Sachita berdecak. “You sound so….” Ia berpikir lama, “... so Mantikei,” sambungnya.  

Dunham dan Sachita saling bertukar pandang. Aku tahu mereka sedang berupaya membuatku kesal.

“Tapi... tanpa Mantikei, saya nggak bisa menyelesaikan survey ini, dan membantu berbagai LSM dalam tindak pencegahan perburuan burung rangkong.” Profesor Dunham berteriak ke arahku. “Manusia satu itu juga punya dedikasi.”

“Tadi kamu baru aja meledekku, Prof.” Aku membidik sesuatu yang bergerak di rimbun dedaunan di atas pohon. "Sekarang mau menebusnya dengan memujiku," decakku dibuat-buat. Membuat kedua orang di seberangku tertawa.

“Tutupan daun yang menutupi permukaan hutan saat ini, tak lebat seperti bertahun lalu.” Sachita mengalihkan, sambil membaca sesuatu di ponselnya. Ia lalu mengamati pepohonan di kejauhan.

Dunham menanggapi dengan wajah serius. “Penguasaan sumber daya alam saat ini cenderung eksploitatif, karena hak menguasai negara cenderung ambisius dan berorientasi ekonomi, tapi tidak berkelanjutan.”

Dunham dan Sachita terlibat pembicaraan yang sangat serius, hingga melupakan proses pengamatan. “Hei, kita masuk ke area pengamatan. Daerah yang kamu tandai, sudah lewat dari tadi, Prof.”

Lihat selengkapnya