Mantikei dan Sang Panglima Rangkong Gading

Foggy F F
Chapter #20

Suku Api Gading

Mantikei

Sebuah titimangsa di masa lalu.

Sachita bukan tipikal orang yang berkamuflase, ia berani tampil menyebalkan, karena memang sudah karakternya begitu. Setiap kali rasa penasarannya terpantik, ia tak akan sungkan untuk bertanya banyak hal, demi meredakan hasratnya yang haus akan informasi.

“Bukannya disana sering terjadi banjir dan longsor?” Bulu mata lentiknya bergoyang ketika ia mengerjap. Bola mata jernih itu begitu mengganggu.

Aku menghela napas. “Manusia urban yang membuat lahan hijau terseret dan alam mengamuk.” Sambil menyesap kopi hitam yang kupesan, aku menyelonjorkan kaki. Rasanya ganjil, duduk berduaan dengannya begini.

“Kenapa Kalimantan Barat?” ucapnya masih bertanya-tanya. “Kan penelitian orang tuamu, nggak cuma di sana.” Sachita menepuk-nepuk gelas es kopi susu miliknya, ia memperhatikan buih di atas permukaan air. “Kamu percaya, nenek moyang mereka menjaga alam di sana dan mencoba mengusir para pengganggu, dengan kasih bencana alam?”

Meski ia tampak lugu dengan pertanyaannya, aku tahu ia akan mengarah kemana. “Data yang kamu punya, mengarah ke suku yang sudah punah itu. Aku ingin tahu apa yang mereka lindungi, aku tahu... kamu punya petunjuk dari seseorang di masa lalumu.”

Sachita mengerjap, tak menjawab sepertinya ia terkejut kalau aku sudah tahu tentangnya. Aku tahu Sachita bersusah payah mencari informasi tentang penelitian ayah dan ibuku. Aku tahu ada sesuatu di masa lalunya yang ia sembunyikan, Sachita dan Satomi tak mungkin baru kali ini bersinggungan dengan keluargaku.

“Mereka menjaga binatang-binatang langka di sana, aku mulai percaya itu. Termasuk vegetasi hutan.” Aku mengingat tentang mereka. “Aku yakin, kamu mendatangi banyak pihak, demi terkumpulnya data-data yang mau kuminta ini. Tolong, sachita.” Aku memohon.

Sachita termangu, ia mengetukkan ujung jarinya di meja, seperti sedang menghitung sesuatu. “Mm… ketika kejadian kerusuhan itu, apa Profesor Sagara sudah melakukan penelitian? Ini berhubungan dengan kejadian yang menimpa Satomi. Aku perlu tahu,” lanjutnya tanpa mengindahkan permintaanku.

“Aku mengajakmu kemari, untuk meminta informasi yang sudah kamu kumpulkan dari kasus yang menimpa Satomi dan kedua orang tuaku, tanpa mempertajam apa yang selama ini jadi jurang ketidaksepahaman kita. Aku tahu, kamu bahkan punya data tentang para peneliti Jepang yang hilang itu.”

Bola matanya mengerjap, ia mencerna. Detak jarum jam di dinding, dengung suara mesin pendingin udara, dan celoteh pelanggan kopi di kejauhan membuat rasa cemas di dadaku naik ke permukaan. Apakah Sachita orang yang tepat untuk kuberitahu soal niatku pergi ke tengah hutan? 

“Aku tahu sesuatu soal kematian orang tuamu.” Tiba-tiba ia berucap. “Aku juga tahu tentang Profesor Dunham.” 

Ucapan terakhirnya membuat rahangku menegang, telapak tanganku gemetaran. “Ada apa dengan Profesor Dunham?”

Raut wajahnya kembali serius. “Aku yakin kamu sudah tahu soal saksi kunci kejadian pembunuhan orang tuamu. Kamu harus tahu soal lingkaran pertemanan para peneliti, dari beragam cabang ilmu. Ada sesuatu di hulu sungai, dan Profesor Dunham tahu tentang itu.”

Seperti petir di tengah terik hari, ucapan Sachita membuat beberapa ingatan di kepalaku saling berkelindan, membentuk satu logika pemahaman. Tentang kehadiran Profesor Dunham di hidupku; dan tentang undangannya agar aku bergabung di konservasi burung rangkong di Kalimantan Barat. Sekian lama aku mempertanyakan ini, Sachita dengan sekali jentik memberikan informasi yang selama ini aku cari. 

“Profesor Dunham tak hanya singgah kali ini saja di kehidupan orang tuamu, Kei. Aku tahu kalau ia dan ibumu sangat dekat sejak lama, layaknya saudara kandung."

“Da-darimana sumber informasi ini? Apa karena ibuku sekolah di Stockholm?” tukasku tak percaya. “Profesor Dunham tak mungkin berbohong padaku, ia adalah orang terdekat kedua orang tuaku.”

Sachita membersihkan tenggorokannya. “Tak hanya itu….”

Aku meremas rambut, sambil menggeleng dan menatap ujung sepatu, lalu berbisik,”Apa lagi?”

“Ia bahkan berada di sekitar dirimu dan Satomi, saat kejadian kerusuhan itu.” Sachita menjatuhkan bom yang tak kusangka. "Aku pikir, dia memang sangat melindungimu. Melindungi dirimu dan Bethari."

Ia menatapku dengan sorot mata iba, kemudian lanjut bicara. “Aku mempelajari peta pelik masalah yang sedang kamu hadapi. Semua ini menyeret masalah di masa lalu, semua ini tentang hutan purba. Semua masalah yang terjadi adalah... apa yang terkandung di dalam bumi"

“Aku butuh bantuanmu,” bisikku. “Apalagi yang kamu tahu?” 

Sachita terpekur, lalu menghela napas berat. “Banyak hal yang seringkali luput dari logika manusia, tapi semuanya beralasan. Aku tak pernah melihatnya… tapi aku yakin kamu menyaksikan sesuatu di sana. Bahkan saat di Tolikara."

Semburat pelangi, secercah harapan, sebaris kata yang membuat dadaku buncah. Aku pernah membenci perempuan di hadapanku karena egonya membuatku selalu merasa bersalah, karena aku selalu merasa telah menyakiti saudara kembarnya. Dalam sekejap ia adalah jawaban yang selama ini aku cari. Manusia hidup dalam kungkungan ketidaktahuan, segala jenis ego dan kebodohan yang sengaja dibuat agar tak bertanya-tanya. Tapi bukan manusia seperti Sachita yang selalu berani mempertanyakan banyak hal, meski sikapnya amat menyebalkan ia bisa membantuku. Seperti perahu yang menemukan muara untuk ditambatkan, aku menyerahkan keputusasaanku padanya. 

“Kamu butuh data yang kupunya,” ucapnya hati-hati. “Tapi, aku punya syarat.”

Name it!” Aku membalas. “Apa yang kamu mau?”

“Kejadian yang menimpa Satomi, Bethari, orang tuamu… bahkan masa laluku, segala sesuatu ini punya keterkaitan. Kita seperti potongan puzzle yang terpisah oleh jarak, waktu dan kisah hidup.”

Memoriku terbang, teringat akan ucapan ayahku tentang teori fraktal yang diungkap oleh Benoit Mandelbrot –matematikawan asal Polandia– yang membuat ayahku percaya bahwa segala kejadian yang terjadi di pedalaman Borneo sana memiliki keterkaitan satu sama lain, bahkan dengan hal yang berjarak nun jauh dari variabel di sana. Aku selalu menganggap ayah meracau karena jenuh, tapi pemahaman ibuku yang membuat logika itu terasa nyata. Ibu percaya kalau nenek moyang hutan sudah menggariskan benang merah takdir, yang akan saling merajut semesta dalam peradaban. Ketika satu faktor dihancurkan, ia akan memengaruhi kerusakan di belahan lainnya. 

Sachita mengayunkan telapak tangannya di depanku. “Kita ditakdirkan bertemu. Aku yakin, siapapun yang mencelakai Satomi, mereka sedang mencariku juga.” 

Aku sangat tahu apa yang dimaksud olehnya. Ibuku sejak dulu selalu mengisahkan ini, tentang anak-anak Jepang yang menjadi keluarga sahabatnya. “Jangan cerita masalah ini sama siapa-siapa,” bisikku. “Mereka mencarimu, seperti mereka membunuh kedua orang tuaku.”

Sachita diam tak berkutik, ia menatapku dengan wajah yang tak pernah kulihat sebelumnya. Ketakutan.

“Aku butuh data-data yang kamu punya,” tukasku cepat. “Aku akan berangkat ke sana.”

"Syaratku buat kamu... berhati-hatilah, Mantikei."

***

Ambara Lawinei menempel pelepah daun dan ramuan berbau menyengat di perut burung itu. Tangannya mengelus bulu-bulu mengkilapnya dengan penuh takjub, sambil merapalkan sesuatu. Burung itu bergerak, perlahan, matanya mengedip tanpa berontak. Kedua mata itu melihatku, ia memancarkan sinar meredup, mengerjap dan membahasakan sesuatu dengan sayapnya yang tiba-tiba mengepak.

“Ia melihatmu, Dom.” Ambara Lawinei, berdiri lalu meremas bahuku. “Makhluk ini tahu siapa kamu.”

Aku terperanjat mendengar ucapannya. Lalu menghampiri makhluk rapuh itu, ketika puncak kepalanya tiba-tiba menyundul punggung tanganku. Rangkong gading itu mengatupkan matanya sambil mengendus kulitku dengan paruhnya, ia menyapaku. Kerlip di bola mata hitam itu seolah menyiratkan rasa terima kasih. Ia terpisah dari habitatnya di alam liar. “Kamu terpisah dari anak istrimu,” bisikku. “Ya, aku tahu.” Seolah aku bisa merasakan apa yang ia tanggung. 

Dari ujung ruangan Dunham, Sachita mengamati. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan, terpukau melihat interaksiku dengan rangkong gading ini. "Aku melihat betina dan anaknya di lubang pohon tadi," bisiknya.

Brak! 

Tiba-tiba seseorang membanting pintu. Beberapa orang merangsek masuk, mereka menghambur sambil mengacungkan senapan berlaras panjang. Orang-orang ini mengenakan seragam berwarna tanah dengan pita merah ditalikan di lengan.

“Gading itu ada di sini.” Seseorang berseru pada walkie-talkie. “Sepuluh-empat, sepuluh-empat. Komando monitor? Gading terlihat di sini, repeat… Gading besar berada di sini.”   

Laki-laki dengan tubuh paling raksasa di rombongan, menyorongkan senapan ke arah Nanjan, yang berdiri dan menahan mereka agar tak mendekat ke arahku.

Hugo, seorang peneliti dari Swedia membantu Nanjan menahan mereka yang merangsek masuk. “Hey, Man! Take it easy!” Ia merentangkan tangan dan membela Nanjan. Dengan tubuhnya yang tinggi, Hugo tampak mengintimidasi. Rambut sebahu dan bahu lebarnya, bisa membuat beberapa tamu asing itu ciut. Hugo sepantaran dengan Profesor Dunham, tetapi tubuhnya yang atletis, cukup besar untuk bisa membela diri.

Pemimpin mereka –laki-laki dengan senapan– tetap memaksa meraih tubuh rangkong yang kini aku dekap. Makhluk itu bergerak-gerak berontak. 

“Tolong serahkan burung itu, ia berhak kami ambil,” ancamnya. Orang asing dengan jenggot lebat dan wajah beringas itu bicara sambil menurunkan moncong senapannya. 

“Kata siapa?” Sachita yang menjawab lantang. “Burung ini satwa langka, kami berhak melindunginya.” 

Lihat selengkapnya