Penanganan kasus kematian Profesor Arifin Sagara dan Profesor Malina Munau Sagara nyaris ditutup. Kepolisian tak lagi mencari penyebab wafatnya mereka, karena mengalami kebuntuan. Belum terkuaknya siapa dalang di balik kasus pembunuhan tersebut, masih menjadi sorotan. Terlebih lagi, beberapa kali pergantian kepala kepolisian, kasus ini belum juga berujung pada muara kejelasan. Bethari merasa, bahwa ini dikendalikan oleh seseorang yang punya pengaruh, melihat begitu berbelitnya proses investigasi atas bukti dan saksi yang ada. Seolah mereka menginginkan dirinya dan Kei menyerah. Tapi beberapa pengamat tindak kriminal, dan rekan-rekan peneliti orang tuanya, mengarahkan logika kasus ini pada perusahaan-perusahaan tambang asing yang dilindungi oleh oknum pemerintah negara ini.
Kei masih berada di Kalimantan Barat, bahkan Salman mengabarinya kalau Sachita pun ikut menyusul ke sana. Ada bahaya yang mengintai Kei –Bethari tahu itu– tapi adik lelakinya itu terlalu keras kepala untuk dikhawatirkan oleh sang kakak. Tentu saja, hampir setiap hari Kei melaporkan keadaan dia di sana, tapi tidak untuk seminggu ini. Kei nyaris menghilang, tak ada kabar darinya, termasuk dari Profesor Swedia nyentrik itu.
Sudah hampir setengah hari, Bethari mematutkan diri depan jendela apartemen Kei, di kawasan bising Jakarta Selatan. Tinggal di kamar seorang bujangan dengan profesi petualang seperti Mantikei, sama sekali tak membuatnya terganggu. Kamarnya rapi, bahkan nyaris tak ada barang yang berseliweran di mana saja, semua disimpan pada tempatnya. Kei selalu lebih detail dan apik dari Bethari. Untuk tempat tinggal dan orang-orang terdekat, Kei selalu menjadi seorang “perawat”. Adik lelakinya ini mirip Malina Munau dibanding dirinya. Begitupun yang terjadi padanya, Mantikei selalu merasa bersalah, ketika ia menganggap dirinya tak cukup menjadi adik yang baik. Meski tak ada yang membuat ia merasa begitu, Mantikei adalah Mantikei, ia mungkin terlihat kuat secara fisik, tapi hatinya selembut beledu.
Ponsel Bethari bergetar.
Salman Calling….
“Halo?”
“Bethari?”
“Ya? Ada apa Man?”
Lelaki di seberang lama diam, lalu terbatuk.
“Salman?? Ada apa?”
“Mmm… Satomi.” Ia menghela napas berat. “Satomi melakukan percobaan bunuh diri.”
Ponsel Bethari nyaris terjatuh. Ia sontak berdiri dengan tangan masih gemetar.
“Halo? Halo Bethari?? Masih di situ?”
“Ya… ya, gimana Sachita? Sudah bisa dihubungi?”
“Belum,” jawab Salman pendek.
“Salman? Ada apa? Sesuatu terjadi di hutan?”
“Jangan panik dulu.” Ia terdengar menarik napas dalam-dalam. “Sepertinya, kita kehilangan kontak ke sana.”
Lutut Bethari seketika lemas, kepalanya limbung. Ada apa lagi ini? batinnya. “Sa-satomi… bagaimana?”
“Aku sedang di panti rehabilitasi. Dokter sedang mengecek kondisinya. Jangan kaget,” ucapnya tiba-tiba.
“Kenapa lagi?” Bethari menutup wajah dengan sebelah telapak tangannya. “Kasih tahu aku,” bisiknya.
“She has a vision,” ungkap Salman terdengar ragu-ragu. “Aku kira, kamu perlu tahu soal ini.”
“Vision?? How?”
Salman terbatuk. Bethari tahu, Salman sedang menguatkan diri.
“Dia melihat apa, Man?”
“Kebakaran hutan,” ucap Salman dalam sekali tarikan napas. “Setelah ia menceritakan mimpi buruk itu, malamnya… Satomi melakukan percobaan bunuh diri.”
“Ha??” Masih limbung, Bethari menggelengkan kepalanya. “Nggak mungkin ini terjadi sama adikku kan, Man?”
Salman tidak menjawab.
Suara bising di luar gedung apartemen, nyaris tak terdengar. Pikiran Bethari terasa kedap, bahkan detak jarum jam yang seringkali mengganggu konsentrasinya, pun diam. Ruangan yang ditempatinya tiba-tiba senyap.
“Satomi melihat kebakaran hutan, lalu ia histeris. Kondisinya terguncang. Ketika perawat menemukannya, ia sedang melakukan percobaan bunuh diri di tempat pasien sebelumnya meninggal dunia.” Salman menjelaskan pelan-pelan.
Langit-langit kamar seolah berputar, dinding ruangan menyempit, membuat dada Bethari berdentum kencang. “Aku harus ke sana, Salman. Aku harus segera berangkat ke Kalimantan.”
“Sebaiknya kamu menunggu kabar dari koresponden kami yang ada di Sanggau. Mereka sedang mengirimkan bantuan mencari Kei dan Sachita, menyusuri sungai di Kapuas Hulu. Ada banyak hal yang bisa jadi… membahayakan, Thar. Kita jangan gegabah.”
“Tolong kabari aku secepatnya,” ucap Bethari, terdengar putus asa.
Salman hanya bergumam tak jelas.
Sudah sekian lama kemungkinan buruk berseliweran di pikiran Bethari, kini semua makin menerang, ia merasa yakin kalau hal-hal yang terjadi dalam hidupnya berkaitan dengan darah Dayak yang mengalir di tubuhnya. “Salman—”
“Ya?”
“Apa ada yang mengunjungi Satomi beberapa hari ke belakang?” Bethari terdengar ragu, tetapi ia berusaha menggali berbagai kemungkinan yang terlintas di kepalanya. “Orang-orang asing.”
Napas Salman terdengar keras di speaker ponselnya, ia diam cukup lama untuk berpikir. “Maksudmu orang asing yang berada di negeri ini, kan? Mereka yang punya kekuasaan?'
“Iya.”
“Hmm… sebelum aku mengontakmu, suster di rumah sakit bilang, kalau beberapa minggu lalu ada seorang lelaki asing berusia lanjut datang kemari. Tapi… darimana kamu tahu?”
“Apa dia Profesor Dunham? Apa dia berusaha melindungi Satomi, seperti dia juga melindungiku dan Kei? Dia tahu sesuatu, aku yakin dia tahu sesuatu!”