Lemari itu tersembunyi di balik tembok, ia sering bersembunyi di sana dan nyaris tak pernah ketahuan adiknya. Bethari bersembunyi selama berjam-jam, bahkan Ayah adalah orang pertama yang memberitahu ruang rahasia mereka. Profesor Sagara tahu, kalau putrinya seorang pemberontak. Seorang ayah akan selalu berusaha memahami cara berpikir putrinya. Hingga akhirnya Profesor Sagara tak bisa memberikan apa yang Bethari mau, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ganjil di kepalanya. Profesor Arifin Sagara, membuat jangkar-jangkar pengaman untuk melindungi putrinya itu, dengan cara menjauhkan.
Ayah dan Ibu mengajarkan Bethari cara berpikir logis, semakin tumbuh dewasa, ia semakin tahu bahwa setiap aksi akan senantiasa diikuti reaksi, bahwa setiap akibat selalu dipantik oleh penyebab. Namun, logika berpikirnya termentahkan oleh fenomena-fenomena tak masuk akal yang terjadi di depan mata. Ia seringkali menyalahkan ibunya, karena cara berpikir kuno yang diadaptasi dari nenek moyangnya di Kalimantan, bagaimana Profesor Malina masih percaya akan kekuatan metafisis yang bisa menggerakkan suatu benda, tanpa proses sains.
Sementara, Kei tak pernah tahu banyak. Ia terlampau asyik dengan dunia fotografi yang dicintainya, dunia yang mewujudkan berbagai penghargaan dan prestasi yang bisa diraih olehnya. Kei sibuk mengurusi pencapaian-pencapaian itu, hingga ia nyaris lupa, duka telah menggerogoti hidup kakaknya sendiri.
Suatu masa ketika Bethari remaja, Profesor Malina mengenalkan seorang perempuan Dayak Iban bernama Ambara Lawinei. Belakangan di pulau itu, Kei mengenalkannya kembali. Dan keduanya saling tersenyum penuh arti, Ambara Lawinei mengenali Bethari. Binar di matanya berpendar ketika tatapannya bersirobok dengan Bethari, keduanya saling mengidentifikasi.
Tak ada satupun kenangan yang Bethari lupa tentang ibunya, bagaimana Profesor Malina begitu memuja alam semesta. Ia mempelajari ilmu tentang unggas, demi untuk melestarikan keanekaragaman satwa di tempat lahirnya. Profesor Malina mencintai spesies burung rangkong gading sejak ia tahu ada darah Borneo mengalir di DNA-nya, burung yang menjadi simbol tanah kelahirannya.
Selembar foto terjatuh, kertas film itu telah usang, pinggirannya telah lapuk dimakan zaman. Sepasang wajah mengamati Bethari. Foto orang-orang yang ibunya sering panggil Indai dan Apai.
“Kenapa aku nggak pernah bertemu nenekku, Bu?”
“Inek pergi meninggalkan Ibu saat masih balita, Thar. Hingga Ibu diadopsi sepasang peneliti dari Swedia. Keluarga Ibu dari Swedia ini, tinggal di Jakarta.” Malina lalu menunduk. "Itu bukan Inek asli Ibu, mereka menemukanku tenggelam di sungai saat bayi."
Bethari terkejut, ia menutup mulutnya dengan telapak tangan. "Lalu Ibu keturunan siapa?"
Malina menggeleng dan tersenyum. "Itu tidak penting."
“Lalu bagaimana ceritanya Ibu dekat dengan Mister Dunham?”
“Ya, orang tua Profesor Dunham yang mendidik dan menyekolahkan Ibu. Merekalah yang berdedikasi terhadap ilmu pengetahuan yang ibumu ini kenyam.”
Suatu hari, Profesor Malina memberitahu kalau keluarga Dunham mengabdikan diri di sungai Kapuas sejak lama, karena pernah diselamatkan oleh kerabat Dayak-nya. Tapi Profesor Malina tak pernah menceritakan, mereka diselamatkan dari apa. Profesor Malina berkali-kali mengingatkan, banyak hal-hal di luar nalar yang harus mereka percayai sebagai bagian dari kehidupan di bumi ini. Bethari mirip ayahnya, ia selalu meletakkan logika di atas segalanya. Sampai ia bertemu hal yang tak bisa diurai oleh nalar manusia.
Naskah kuno itu sudah tak ada lagi di sana, tinggal sebuah kotak penyimpanan dengan pengatur kadar oksigen cukup canggih. Kotak penyimpanan naskah kuno milik Profesor Sagara sudah kosong tak berisi. Bethari kecil selalu menganggap kotak itu sebagai peta harta karun. Tanpa ada seorang pun yang tahu, peta itu sudah diingatnya di luar kepala, bahkan batu yang dititipkan oleh ayahnya berada di tempat yang aman, di sebuah kamar merah jambu milik anaknya.
Ia mengamati ulir kayu keruing kotak itu, ukirannya amat rapi. Dilihat dari bentuk pahatannya, gambar itu mengisahkan sebuah cerita masyarakat Dayak hulu sungai Kapuas, yang sudah lama tak terlihat. Masyarakat penjaga hutan, yang hilang sekian ratus tahun lamanya, karena banjir bandang menghanyutkan perkampungan mereka di tengah hutan purba.
Bethari memetakan semua berdasarkan teori yang dibangun oleh Sachita. Perempuan keturunan Jepang itu tahu, bahwa ada sesuatu yang ganjil di laboratorium ini. Meski Bethari berusaha menyangkal, tapi memori di kepalanya tak bisa mengelabui. Beberapa kilasan kenangan di masa lalu bisa dirunut sebagai petunjuk.
Bethari tahu ada hal aneh mengintai orang-orang yang dekat dengan Kei, dirinya dan Profesor Malina. Seolah sesuatu tengah menjaga mereka dari bahaya, hingga menyebabkan orang-orang di sekitarnya yang jadi korban. Sebuah pengalih malapetaka.
“Kenapa Kei dan aku tak pernah terluka kalau jatuh, Bu?”
“Siapa yang mengatakan itu padamu?” Profesor Malina terkesiap.
“Tanpa ada yang bilang, aku tahu kalau kita berdua… anak aneh.”
“Jangan bilang begitu, Bethari. Kamu dan Mantikei itu anugerah.”
“Kenapa?” Bethari berkacak pinggang.
“Sesuatu akan menjaga kalian sampai dewasa.”
“Kenapa kami dijaga oleh sesuatu ini?”
“Karena kalian juga adalah penjaga.”
Bethari terheran-heran mendengar kata-kata ibunya. “Penjaga?”
Profesor Malina mengangguk. “Kalian adalah penjaga api. Penjaga api berwarna jingga yang tersembunyi di hutan sana. Penjaga nenek moyangku.”
Tentu saja Bethari tergelak mendengar kata-kata Profesor Malina saat itu. Ia berpikir bahwa ibunya sedang bercanda. Sampai kemudian setelah dewasa Bethari paham, api yang dimaksud adalah cahaya yang menaungi belantara hutan, napas yang mengembus dari setiap pori-pori pepohonan yang berbaris dengan kokohnya. Kekayaan yang dijaga oleh nenek moyang pulau ini sejak dulu kala.
Berlembar-lembar jurnal dengan kertas usang itu, dipelajarinya dengan saksama. Tak banyak yang ia pahami, selain deskripsi rumus-rumus kimia molekul yang ditulis oleh sang ayah, juga ordo spesies rangkong gading yang dirunut oleh ibunya. Selebihnya, Bethari sama sekali tak paham.
Hanya orang-orang yang paham teori-teori inilah, yang mengambilnya dari lemari rahasia Profesor Sagara. Dari awal, Bethari mencurigai keluarga Dunham, mengingat mereka begitu dekat dengan orangtuanya, dan bisa saja orang-orang asing itu tahu apa yang disembunyikan oleh Profesor Malina sejak lama, sesuatu yang misterius. Tapi ia selalu diingatkan oleh ibunya, kalau Nikolaus Dunham adalah satu-satunya orang yang bisa ia dan Mantikei percaya.
Dulu sekali, ibunya selalu bilang kalau Bethari dan Kei tak boleh melupakan garis keturunan sungai Kapuas yang mengalir di tubuh mereka. Profesor Malina juga selalu mengatakan, kalau ilmu pengetahuan yang diturunkan, akan menyelamatkan nenek moyang mereka di Borneo. Tak pernah Bethari sadari, bahwa habitat burung itulah yang dilindungi mati-matian oleh ibunya. Penyerbuk hutan yang memelihara Borneo tetap hijau dan lestari.
***
Namanya Nanjan, Kei yang mengenalkan pemuda itu padanya. Bethari tahu wujud Nanjan, jauh sebelum ia menjadi pemuda cekal dan tegap seperti sekarang ini. Dulu sekali, Bethari melihatnya ketika ia masih segumpal bayi merah yang dipeluk ibunya, seorang perempuan Dayak Iban bernama Ambara Lawinei. Profesor Malina bilang… beberapa transmigran minggat dari Borneo kembali ke Jawa, setelah beragam kasus pembalakan hutan marak terjadi.
Nanjan mengungkap tabir di dalam dirinya, misteri yang merangkai sejarah Profesor Malina dan sang moyang. Ia yang meretas alur DNA dalam tubuh mereka hingga ke asal muasalnya, suku purba yang nyaris punah. Nanjan adalah jawaban atas semua tanda tanya yang berkelindan di kepala Bethari selama ini.
Ketika Kei mengenalkannya sebagai orang yang membantu Profesor Dunham di kabin konservasi, Bethari tahu binar mata itu, pemuda itu menyimpan banyak sekali misteri. Namun, senyum dan perlindungan Nanjan terhadap Kei, adalah secercah angin segar. Lambat laun Bethari menyukainya. Sama halnya dengan Ambara Lawinei, perempuan Iban itulah yang menjadi pelindung ibu dan dirinya sejak lama.
Entah Nanjan, Ambara Lawinei, bahkan Profesor Dunham sekalipun, masing-masing memiliki cerita versinya sendiri-sendiri mengenai peran kedua orang tua mereka di pusat konservasi satwa liar hutan hujan Kapuas itu. Tak hanya sebagai mata rantai ilmu pengetahuan yang memiliki sumbangsih besar, tapi juga sebagai tokoh yang memiliki hubungan personal dengan masyarakat adat di sana. Profesor Sagara dan Profesor Malina, adalah sosok pelestari hutan yang amat disegani.