Mantikei dan Sang Panglima Rangkong Gading

Foggy F F
Chapter #23

Takdir Prajurit Nanjan

Mantikei

Kami kembali ke pusat konservasi, setelah bencana air bah mereda. Kabin penelitian mampu terselamatkan. Namun, banyak kerusakan yang tak bisa dihindari. Warga dari hilir sungai turut serta menyelamatkan berkas dan data penelitian, yang seharusnya dirahasiakan agar tak jatuh ke tangan yang salah. Data-data itu mengungkap jumlah populasi rangkong gading dan lokasi habitat mereka. Jika data ini jatuh ke tangan para penyelundup balung rangkong, tentu satwa ini akan semakin diburu dan status kepunahannya akan semakin mengkhawatirkan.

Hilangnya Profesor Dunham, masih menjadi pembicaraan masyarakat sekitar dan rekan-rekan peneliti yang makin berdatangan. Sementara itu, kesehatan Sachita masih belum pulih. Meski ia memaksa untuk ikut serta dalam setiap aktivitas kami di kabin, binar mata itu kian redup dan lelah. Sebuah kekuatan gaib telah mengalahkan dirinya.

“Kamu tahu, Salman mau ke sini?” Ia menyodorkan segelas teh hangat ke hadapanku, langkahnya masih terpincang-pincang.  

Aku mengangkat alis. “Salman?”

Sachita tergelak. “Wajahmu aneh.” Ia geleng kepala, mengambil posisi duduk di sebelahku. “Ada banyak informasi yang dia bawa, Kei. tentang Satomi dan kakakmu.”

“Bethari?? Kenapa dia?”

Ia mengibaskan tangan. “Jangan khawatir, Bethari baik-baik saja. Salman membawa banyak berita mengherankan, tapi dia ingin menyampaikannya langsung sambil mengecek kondisi kita.”

Gerundelan beberapa orang yang mengumpati teras kabin, terdengar dalam bahasa Dayak kuno yang tak kupahami.

“Mereka kerabat Bu Ambara?” Sachita berbisik.

Aku mengangguk. Termenung sambil menggaruki permukaan kayu dengan kuku jariku yang mulai panjang, meja kayu milik Profesor Dunham bahkan sudah dilapisi jamur, karena tak ada matahari masuk. “Ibu selalu bilang, kalau data-data ini adalah segalanya.”

“Ini data-data rahasia?”

Aku mengangguk. “Data-data ini menyebutkan jumlah populasi rangkong gading yang mereka buru. Jika ini jatuh ke tangan orang-orang tak bertanggung jawab, mereka akan menandai habitat yang kami coba selamatkan.”

Sachita membuang pandangannya ke luar. “Mereka segan pada orang tuamu, sepertinya mereka tahu banyak tentang asal muasal Profesor Malina.”

Seperti sebongkah kerikil, aku berusaha menelan ludah dengan susah payah. Sekilas kenangan tentang Ibu, membuat pagi ini terasa getir.

“Kei….”

Aku mendongak, mendapatinya tengah membuka-buka berkas peninggalan Ibu, di meja Profesor Dunham. 

“Mereka bahkan tak berganti pasangan, ketika betinanya mati. Begitupun sebaliknya, ketika si jantan mati, betina rangkong dan anaknya tak keluar lubang hingga ia ikut binasa.” Suaranya gemetar. “Mereka makhluk yang setia.” Caranya mengemukakan pendapat, membuat makhluk yang dikisahkan itu begitu istimewa, seperti cara ibuku mengisahkan rangkong gading.

“Kata Ibu, setiap spesies Tajaj(18) betina menghilang atau mati, si jantan akan mencari pasangannya selama berbulan-bulan di lokasi terakhir mereka bersama.”

Sachita menoleh, ia tersenyum, wajahnya melembut. “Ibumu amat mencintai burung ini, ya?”

“Seumur hidupnya,” ucapku dengan suara parau. “Ia mendedikasikan dirinya untuk penyelamatan spesies ini, Sachi. Bagi dia, rangkong gading tak semata burung yang terbang di angkasa. Baginya, rangkong gading adalah wujud leluhurnya yang akan senantiasa menjaga hutan Kalimantan tetap hidup.”

Sachita menyentuhkan ujung sepatunya ke kaki meja, ia tampak gugup. “Aku ingin mengenal ibumu.”

Secercah pilu hinggap di ulu hatiku, degup di dadaku melambat, kesulitan mencari udara untuk dipompa. Indaiaku rindu padamu. 

“Kei… menurutmu, apakah Profesor Dunham diambil oleh orang-orang misterius yang berada di hulu?”

Aku terhenyak mendengar pernyataan Sachita, berbagai spekulasi terlintas di kepalaku. Lantas aku berdiri hendak mencari Nanjan, ketika jemari Sachita melingkar di pergelangan tangan. “Hati-hati,” ucapnya lirih. 

Mendengar caranya berucap, jantungku berdegup, darah di tubuhku berdesir. Jawabku hanya anggukan pelan. 

Di luar, beberapa orang yang tadi datang untuk membantu, kini pulang ke rumah betang di luar hutan, mereka kembali berjalan jauh. Aku tak menemukan Nanjan, yang sejak semalam dipanggil Nanjan Sigom, oleh Apai Janggut. Itu nama lahirnya.

“Mantikei.” Hugo, seorang peneliti berkebangsaan Swedia, yang telah lama tinggal di Indonesia, menghampiri. Ia menyodorkan segelas minuman. “Tuak, diberi oleh Apai Janggut semalam,” sodornya.

Aku menggeleng. “Aku tak minum alkohol, Hugo.”

Maybe you should.” Ia terkekeh. “Wajahmu berantakan.”

Aku meraih gelas di tangannya, dan menyisipnya perlahan, lalu mengernyit. “This one is strong.”

Yeah.” Ia hanya mencurengkan alis, lalu meraih gelas di tanganku dan menenggaknya hingga tandas. “Cukup untuk membuat kita berani mencari Dunham.”

Aku menaikkan alisku, mengamati perubahan di wajahnya. “Kamu tahu sesuatu?”

“Kamu lihat tato di bahu laki-laki yang mengantarkan kita kemari?”

“Tato bunga terung(19) itu, ya aku tahu,” ucapku coba mengingat. “Kenapa dia?” 

“Apa artinya?”

“Berarti dia memiliki pangkat, karena simbol bunga terung ini adalah sesuatu yang dibanggakan oleh masyarakat mereka.” Aku menjelaskan apa yang kuketahui. Aku terkenang, hari-hari di masa kecilku, ketika Ibu seringkali bercerita tentang simbol-simbol rajah dalam tubuh masyarakat Dayak Iban, entah kenapa saat itu ia menganggap aku perlu pengetahuan ini. Kini aku tahu, tanpa dongeng yang Ibu kisahkan, aku tak bisa bertahan hidup di hutan ini.

“Waktu aku menyebutkan nama Dunham, dia terlihat khawatir.” Hugo memiringkan kepalanya, pengaruh alkohol mungkin membuatnya meracau, tapi ada makna tersirat dalam ucapannya. 

“Are you sure?” Aku memastikan.

Ia hanya mengangkat bahu. “Well, I’m not drunk enough.”

Kabin tempat Dunham dan para peneliti tinggal, dijadikan basis penyimpanan data, tak hanya pemantauan satwa liar dan masalah ekologi, tetapi juga data-data tentang penduduk sekitar yang bisa menunjang pemantauan terhadap ekosistem hutan Kalimantan Barat. Bilik-bilik kayu, dan lantai yang menopang tempat kami tinggal, kini diselaputi lumpur pekat, bahkan di sela-sela lorong menuju kamarku menginap, terdapat lendir mirip ganggang yang merupakan organisme tepi sungai. Hugo menghindari lapisan lumpur yang licin, ia berjalan menepi.

Lihat selengkapnya