Sebuah Titimangsa di Masa Lalu.
Ambara muda tak tahu apa-apa, ketika sekelompok pendatang datang dari Jawa, mereka yang menghuni rumah di dusun seberang sana. Ia tahu dari Danum Riwoet, kalau para tetua membolehkan mereka berkunjung ke rumah betang. Bahkan salah satu kepala desanya, memanggil Apai (ayah) Lawinei untuk turut mencari ikan. Ikan tak dapat, namun Ambara diharuskan menjamu para tamu yang datang. Ia dipersilakan duduk di tengah balairung, untuk dikenalkan pada calon suami yang telah dipilihkan. Inilah awal mulanya, Ambara bersua dengan Mahmudi, seorang penghuni dusun transmigran asal Kudus.
Ambara tak pernah belajar apa itu cinta. Sepanjang hidupnya, segenap napas; kerja keras; mimpi dan harapan, ia curahkan semua pada rumah betang, pada apa yang tetua titahkan. Hingga puncak masa remaja, membawanya ke penghujung perjodohan. Danum Riwoet –sahabatnya– telah menikah duluan. Ia bilang, “tak usah kau pikirkan nasibmu, karena melahirkan tak sesakit itu. Kau masih bisa menenun kain, menyantap buah dari hutan, menganyam tikar di tanjok (teras), hanya saja… kini kau harus menimang bayi dalam gantungan, dan menunggu suami pulang mencari ikan.”
“Aku tak menikah dengan para pencari ikan, Danum. Aku menikah dengan penyadap karet,” ucap Ambara.
Danum Riwoet merupakan keturunan moyang Iban terdahulu, Tubuh Apai dan Akek-nya (kakeknya) dipenuhi rajah, sebagai simbol keberanian dalam menakut-nakuti musuh saat perang suku. Danum memiliki kepercayaan, bahwa sebagai anak tetua, ia hendaknya menikah dengan sesama pejuang Iban, dengan darah dan keturunan asli. Mata Danum memicing, ia menelaah raut wajah Ambara yang hanya bisa menunduk.
“Apai sudah memilihkan jodoh,” bisik Ambara.
“Kamu tak apa?”
“Aku bisa apa?” Ambara balas bertanya.
Mereka diam –lama dan canggung– sampai Danum dengan wajah masam menyodorkan beberapa buah tampoi(29) lengkap dengan tangkainya. Rautnya yang dingin lambat laun menghangat. “Kesukaan nuan (kamu), Lawinei,” ujarnya.
Ambara, sambil tersipu-sipu meraih buah tangan yang dibawa sahabatnya. “Untukku, Danum?”
“Makai (makan) lah, Lawinei. Aku mencari buah di hutan tempo hari.” Danum Riwoet yang hanya terpaut usia beberapa tahun, amat menyayangi sahabatnya, sama seperti ia menyayangi saudara kandungnya sendiri.
Ambara tak banyak bicara, ia mengupas tampoi dalam tandan panjang. Buah bulat, berdinding tebal seperti kayu itu dikupasnya dengan susah payah, lantas ia melumat dagingnya yang manis asam itu dengan rakus, sambil membuang bijinya sembarang. “Manis Danum, enak sekali.”
Keduanya lantas membawa sisa buah untuk dibagikan pada bocah-bocah yang tengah berkumpul di ruai (ruang tengah) rumah betang, sambil bersenda gurau. “Ahh, tampoi!” pekik mereka dalam sorak sorai bersamaan.
Meski ada riak gelisah di hatinya, Ambara tak mengindahkan bebannya tentang masa depan. Ia menerima setiap takdir hidup yang sudah orang tuanya gariskan. Ambara adalah gadis penurut, meski ia akan memiliki keturunan berdarah campuran yang akan menghidupinya kelak, Ambara tak gentar menghadapi hidup. Baginya, roda kehidupan akan terus bergulir, dengan bekal ilmu dan kebijaksanaan moyangnya para penghuni belantara hutan, Ambara menjalani nasibnya. Inilah kisah yang akan ia jalani, meski harus berpindah ke seberang pulau, Ambara tak pernah ragu dengan jiwanya yang menyatu dengan alam. Langit membentang, bumi yang dipijak, baginya ia berada dalam hampar dunia yang sama, kemanapun takdir membawanya.