Mantikei dan Sang Panglima Rangkong Gading

Foggy F F
Chapter #25

Harta Karun Tak Kasat Mata

Sebuah Titimangsa, di Masa Bethari Menginjak Dewasa.

Sang ibu pernah menceritakan sesuatu padanya, sesuatu yang nyaris tak bisa dipercaya dengan nalar dan logika. Bethari tidak pernah bertanya, kenapa nama yang dipilihkan untuknya, tak seperti Mantikei –adiknya– yang sarat akan makna dari leluhurnya di Pulau Kalimantan.

“Ayahmu seorang Jawa tulen, Thar. Ia tak sembarang memilih istri, kalau bukan karena merasa Ibu sanggup mendampinginya. Namamu dan adikmu adalah gabungan dari kami. Seorang peneliti dari Jawa, yang teramat mencintai tanah Borneo dan seorang perempuan asli Dayak.” Profesor Malina bercerita panjang lebar saat itu, ia tak ingin Bethari remaja salah paham. Itulah yang pada akhirnya membuat Bethari bisa menerima perbedaan dirinya dan Mantikei.

Kei seringkali jadi bulan-bulanan, cuma karena namanya berbeda dibanding kawan di sekolah.

“Kenapa menangis,” tanya Bethari, mendapati Kei berlinang air mata di sudut ruang kerja ibunya, masih mengenakan seragam lengkap.  

“Yoga meledek,” ujarnya sesenggukan. Sambil mengusap lendir di cuping hidung, Kei bercerita. “Prayoga memanggilku, Mati Kau!”

Tak kuasa menahan geli, Bethari tergelak. Ia lantas menutup mulut dengan telapak, ketika sang adik melotot. “Tuh, kan, kamu sendiri ketawa!”

“Mantikei….”

“Kei! Mulai sekarang, panggil aku Kei! Aku bukan Mantikei, Ibu jahat memberi aku nama aneh!” Tangis bocah itu akhirnya pecah, ia merasa kecewa.

“Kei, kamu tahu kenapa Ibu memberi nama kamu seindah itu?”

Kei menatap kakaknya bingung. “Indah?”

Bethari mengangguk. “Itu nama terindah yang pernah aku dengar, setelah ibu bercerita apakah artinya.”

“Apa?” tukasnya menantang. “Apa artinya?”

“Mantikei berarti manusia yang liat dan pemberani, ia terbuat dari besi sanaman mantikei untuk membuat mandau tajam.”

“A-apa itu mandau?”

“Senjata!” Bethari bicara dengan tangan bergerak-gerak, ia menggambarkan betapa kuat besi mantikei yang dimaksud. 

Kei terbelalak. “Mandau… pemberani.”

“Hanya orang Dayak sejati, yang berani memegang mandau, dan bijaksana dalam menggunakannya.” Bethari tersenyum. “Begitu kata Ibu.”

Lihat selengkapnya