Mantikei dan Sang Panglima Rangkong Gading

Foggy F F
Chapter #26

Batu Api Gading

Mantikei

Masa Kini.

Nanjan masih mengamati dengan sorot tajam, ia mengacungkan mata mandau ke angkasa. Dengan mulut merapal sebuah sakramen, rahang Nanjan mengeras. “Boh, ngelaban… Akak Mantikei! (Mari, melawan… Bang Mantikei!)”

“Apa katanya?” Hugo menepuk bahuku.

Aku cuma menggeleng, masih terpukau pada sosok Nanjan yang biasanya kukenal ramah, dan kini tampak menyeramkan. “Apa yang akan kita lawan?” balasku setengah berteriak.

“Hutan ini sudah dimasuki oleh orang-orang yang ingin mencuri tanah keramat kita. Menggusur nilai yang dijunjung tinggi oleh para tetua. Mengganggu ketentraman sang panglima.” Ia kembali mengacungkan mandau, menunjuk ke puncak pohon. “Ia terluka, enggang gading milik hutan kita disakiti orang-orang pendatang.”

Hugo kembali berbisik. Meski tubuhnya besar, ia bergidik melihat polah Nanjan. Pemuda kekar yang selama ini bersikap santun dan rendah hati itu seolah telah lama menyimpan kemurkaan. 

Hey man, he’s really mad… saya tidak tahu dia bisa marah besar,” cetus Hugo hati-hati. “Apa saya bilang, tatonya itu pasti punya arti. Nanjan bukan sembarang orang.”

Dari semak di belakang Hugo, seekor bajing tanah mendekat, aku mengenal jenisnya karena di sekitar kabin ada beberapa, mereka bermoncong runcing. Hugo terkaget-kaget dengan kemunculannya yang tiba-tiba. “Oh my, you damn Sciuridae (30)!”

“Itu cuma bajing,” bisikku sambil tetap mengawasi Nanjan yang kini menunduk. Ia bernapas pelan, seperti sedang menunggu sesuatu. Aku tetap bergeming, ketika bajing tanah mendekati kakiku dan mengendus-endus. 

“Apa yang dilakukannya? Kenapa ia tidak takut sama kamu, Mantikei?” 

“Aku nggak tahu,” ucapku sambil melirik si bajing dan Nanjan bergantian. Pemuda itu masih menunduk. “Mungkin ia mengenali sesuatu di tubuhku, bisa jadi karena bau minyak yang Bu Ambara oles semalam.”

Nanjan kini duduk bersila, ia menarik kedua lututnya dan meletakkan kepala di atasnya. Ia menangis tersedu sedan dengan kepala tertelungkup. 

What is he doing?” Hugo terkesiap, sama halnya denganku yang tak pernah melihat sisi rapuh pemuda itu. Dalam hitungan detik, Nanjan yang tadi menakutkan, kini tengah menumpahkan kesedihannya dalam tangisan… seperti bocah cilik. 

Kepalanya masih menelungkup, ketika seekor rangkong gading terbang rendah di atas kami. Aku tergemap menatap rangkong betina mendekati Nanjan. Bahu pemuda itu gemetar menyambutnya. Nanjan kembali menangis seperti bocah, kini ia melengking sambil merapalkan sesuatu, bahasa yang sama sekali tak kukenal.

Aku tak pernah melihat seekor rangkong menapakkan kakinya di daratan, selain hinggap di atas dahan pohon tinggi. Rangkong betina itu menapak bumi, ia bahkan melangkah pelan mendekati Nanjan yang menjulurkan tangan padanya. Burung itu mematuk telapak Nanjan, sambil berjingkat naik ke lengan yang rajahnya sudah memudar. Rangkong betina bertengger dengan anggun, sambil menoleh ke arahku matanya mengerjap. Dalam hening, dibayangi dedaunan yang bergoyang dan dersik angin yang meniup pelan, rangkong betina itu berkomunikasi denganku. Begitupun tupai tanah yang mengendus tanahku berpijak, kini ia menyentuhkan tubuhnya ke kakiku. 

Hugo terbelalak, ia menutup mulutnya dengan punggung tangan. “Amazing.” 

Tiba-tiba aku mendengarnya lagi, sayup musik dan lantunan suara-suara misterius dari hulu sungai. Wajah Hugo tiba-tiba pucat, ia menunjuk Nanjan yang duduk bersila dengan bola mata memutih. Kepala pemuda itu bergerak-gerak, seperti gerakan rangkong betina yang mencengkram lengannya. Tupai tanah di kakiku mendekati Nanjan dan mencium tanah seperti bersujud. 

Semua diam. 

Sunyi… bumi seolah mengisap udara di sekelilingku, hingga senyap tanpa suara.

Nanjan mendongak, rangkong betina di lengannya mengepakkan sayap, ia terbang memutar menuju langit dalam gerakan cepat. Sesuatu muncul di atas kepalaku, bayangannya besar mencapai sudut-sudut tanah yang kami pijak, angin tiba-tiba menderu… tidak ini bukan angin, ini kepak sayap.

Lihat selengkapnya