Lelaki itu adalah penduduk asli kawasan sungai ini, ia menambatkan perahunya di sebuah balok kayu besar. Salman turun perlahan. Ia tahu, tubuhnya teramat besar untuk bisa seimbang dan tak terjatuh. Pikirannya melayang menembus rimbun pepohonan, perjalanannya masih jauh ke pedalaman rimba. Konon kawasan hutan hujan tropis ini bersifat purba dan masih kerap oleh vegetasi yang dijaga betul oleh warga lokal. Dua perempuan keturunan Jepang itu sungguh luar biasa, batin Salman berkecamuk.
“Untuk sampai di kabin konservasi pengawasan satwa liar, kira-kira saya harus menempuh jarak berapa lama lagi?” Salman menarik tali ranselnya, hingga benda berat itu merapat ke punggung.
Lelaki tua itu mengisap tembakaunya dalam-dalam, asap yang mengepul pelan membayangi wajah rentanya. “Jauh… perjalanan nuan masih jauh.”
Salman mengangguk, ia berusaha tak gentar, meski cara orang di depannya bicara seolah menakut-nakuti. Salman tak takut menghadapi orang-orang asing di pedalaman, ia terbiasa menghadapi konflik di beberapa kawasan timur Indonesia. Namun, rajah yang memenuhi lengan si pendayung perahu membuatnya beringsut mundur. Lelaki ini boleh tua, tapi Salman yakin ia bukan manusia sembarangan. Lelaki ini yang akan mengantarnya berganti perahu motor, dan menelusuri pedalaman hutan konservasi menembus sungai yang membentang.
“Tak ada barang lagi?”
Salman menggeleng. “Seharusnya saya tak lama di dalam hutan. Ada pekerjaan yang harus saya bereskan.” Entah kenapa ia bercerita, tapi Salman merasa bisa memercayai lelaki ini. “Bapak warga asli sini?”
Lelaki tua itu mengangguk. Ia mencengkeram dayung kuat-kuat, lantas membetulkan kain yang dikenakannya sebagai rompi, Salman bisa mengenalinya sebagai kain adat.
“Bapak seorang Iban?”
Ia kembali mengangguk dan menepuk dadanya tanpa bicara. Setelah berpindah perahu yang lebih kecil, keduanya kembali melakukan perjalanan menelusuri sungai yang panjang dan lebar. Warna coklat permukaan air pun membelah dan mencipta riak-riak. Pohon-pohon tinggi menjulang, memagari jalur sungai seperti bala tentara alam, siap menjaga hampar tanah leluhur yang suci. Salman menyadari, ia tengah memasuki area yang dijunjung tinggi oleh orang-orang sini.
Lelaki tua itu tak banyak bicara, meski tubuhnya kurus dan terlihat renta, tapi ia mengendalikan perahunya dengan sangat piawai. Beberapa kali, Salman bertugas menelusuri beragam hutan konservasi yang tersebar dari pelosok timur hingga tepian barat Indonesia, tetapi baru kali ini ia memasuki hutan adat kawasan Kapuas Hulu di Kalimantan Barat. Ia menatap tak berkedip setiap gambar yang tertoreh di tubuh si bapak tua. Salman berdeham, ia gugup.
“Ari ni penatai nuan? (Kamu dari mana?)” Lelaki tua itu bertanya, sambil mengunyah sesuatu yang Salman cium seperti wangi buah pinang.
“Maaf Bapak, saya tidak paham. Boleh bicara bahasa Indonesia?” Salman tersipu, ia membuka peramban yang tanpa sinyal internet sama sekali.
Si bapak tua terkekeh, ia meludah dan membuang biji buah yang dikunyahnya sambil mengibaskan tangan. “Jawa?”
Salman mengangguk. “Jakarta.”
“Ahh….” Seolah ia paham daerah yang dimaksud, bapak tua itu tersenyum lebar. “Malina Munau dan Arifin Sagara,” ucapnya sambil mengangguk-angguk.
Demi mendengar nama orang tua Mantikei disebut, Salman pun terbatuk-batuk. “Bapak kenal?”
“Ngelala (kenal).” Ia mengangguk. “Orang-orang baik dari Jawa.”
Salman kembali menyunggingkan senyum lebar. “Orang-orang pandai yang malang,” bisiknya sambil mengintip langit, dari celah-celah dedaunan besar di atas pohon. Ia mengernyitkan dahi, “masih jauh?”
“Jauh sekali,” cetus bapak tua sambil tergelak. Ia mempertontonkan gigi hitam-hitam yang kini menyembul. “Manok Sumbun,” ucapnya tiba-tiba sambil menepuk dada. “Namaku.”
“Pak Sumbun.” Salman mengulang sambil mengangguk-angguk. “Terima kasih sudah membantu saya, dalam perjalanan ke hutan ini.”
Manok Sumbun sudah renta, ia hanya mengibaskan tangan dan kembali mengarahkan perahunya lebih cepat. Ia menyalakan motornya yang menyala keras, menyobek sepinya udara di sekitar sungai. Manok Sumbun membelah sungai berwarna coklat terang itu dengan bergegas, seolah ingin mencapai ujungnya lekas-lekas.
***
Di antara banyak alasan kenapa ia memilih untuk tetap tinggal di Jakarta, sementara Salman yang dipercaya olehnya telah berangkat ke pedalaman hutan Kalimantan, adalah ia tak ingin jauh dari Satomi.
Entah kenapa, keberadaannya di tanah air kali ini seolah untuk menjaga agar tak ada lagi korban, akibat keserakahan manusia yang sangat subtil, nyaris tak terlihat dan bergerak seperti hantu. Bethari kini paham, telah lama ia menaruh curiga kalau populasi rangkong gading yang begitu dilindungi oleh orang tuanya, merujuk pada peta sumber kekayaan mineral terbesar di seluruh Asia. Pedalaman hutan dan habitat rangkong gading adalah ciri tersembunyi, bahwa hutan purba yang sehat tetap dijaga secara alamiah. Kenapa?? Karena jauh di bawah bumi, tertimbun logam mulia yang dilindungi. Sekian ribu tahun, harta tak ternilai itu sembunyi di sana.
Bethari menandai tahun, wilayah kejadian yang telah merenggut banyak nyawa peneliti serta orang-orang terdekatnya. Ia menandai waktu keberangkatan Kei dan Satomi ke Tolikara. Ada yang dilindungi di sana pula, dan ia yakin di bawah buminya terdapat sumber kekayaan tak terbarukan, hingga diperebutkan orang-orang serakah.
“Mau menengok Satomi?”
Bethari mengangguk, ketika lagi-lagi perawat yang sama mengekori langkahnya menuju bangsal Satomi dirawat. Mereka berjalan dalam diam, langkah keduanya terdengar menggema di lantai linoleum serbaputih itu. Di dalam kamarnya, tubuh perempuan berkulit pucat itu semakin kurus, tulang di rahangnya tergurat jelas.
“Hai, Tomi.”