Sebuah Titimangsa di Masa Lalu.
Menjadi seorang ornitolog bukanlah pilihan hidup yang ia mau, baginya yang selalu bersikap flamboyan dalam menyikapi hidup, mengabdikan diri di dunia unggas memang tampak membosankan. Meski pada akhirnya, totalitasnya dalam dunia saintis ini, membuahkan pengakuan dan penghargaan dari dunia internasional.
Beberapa lembaga penelitian tingkat dunia mengenal siapa Nikolaus Dunham. Lewat berbagai wadah organisasi, ia melakukan berbagai aktivitas survei dan riset. Bahkan Wetlands International melakukan program konservasi di di Kalimantan Barat, karena prakarsa Nikolaus Dunham. Keterlibatan Dunham dan Profesor Arifin Sagara dalam kegiatan survei burung langka, memberi banyak kontribusi berharga, termasuk temuan-temuan ilmiah yang sangat penting untuk perkembangan ilmu pengetahuan.
“Apa yang guru kita, Profesor Ichirou temukan menjadi alasan bagi kita untuk berani meneliti area penting itu, Niko,” ucap Malina sungguh-sungguh. “Kita berdua tahu apa yang harus kita lindungi.”
“Sepenuh hati, tentu saya akan ikut menjaga kerahasiaan ini.” Tatapan Nikolaus berubah sendu ketika berhadapan dengan Malina Munau Sagara, rekan peneliti terbaiknya di lembaga riset yang dibangunnya bersama-sama. Perempuan itu duduk di kursi rodanya dalam diam. “Saya juga akan menjaga mereka, Malina.”
Malina tahu, siapa "mereka" yang Nikolaus maksud. “Arifin kadang begitu keras soal ini, Niko. Ia bersikukuh agar aku menjauhkan anak-anak dari masalah di Kalimantan.”
Nikolaus menelusuri wajah Malina. “Kalian berdua mengkhawatirkan masa depan anak-anak dengan cara yang berbeda. Arifin ingin anak-anak kalian tak perlu tahu soal betapa berbahayanya penelitian ini, tapi kamu… sebaliknya.”
Malina menggeleng. “Ini takdir buat keturunanku, ini warisan nenek moyang yang ada dalam darah mereka, yang sudah dipilihkan sejak mereka lahir ke dunia.”
“Malina—”
Malina mengangkat satu tangannya, menghentikan pembicaraan mereka dengan pandangan memohon. “Please, kecelakaan yang menimpaku sudah jadi bukti, bahwa aku tak akan mudah tersakiti begitu saja. Begitupun dengan anak-anak.”
“For god sake, Mantikei masih kecil, Malina. Ia membutuhkanmu.” Nikolaus meremas rambut coklatnya yang berantakan, ia benar-benar terlihat frustrasi dengan setiap rencana yang Malina susun. Laki-laki asing tinggi besar itu khawatir. “Profesor Ichirou hilang. Ini sudah jadi isyarat bagi kita agar berhati-hati. Kembali ke hutan itu, akan membuatmu dikejar bahaya.”
“Aku tahu, aku tahu… Niko.” Malina mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut ruangan serbaputih milik suaminya. Laboratorium itu sangat berharga bagi dia dan Arifin, ia tak ingin apa yang mereka bangun sia-sia. “Aku akan mendedikasikan hidupku untuk kawasan di sana, Niko. Menjaga habitat burung itu adalah bagian dari garisan takdirku, menjaga tanah nenek moyangku yang diperebutkan oleh kekuasaan. Ini adalah caraku melindungi garis keturunanku, meski banyak yang harus aku korbankan.”
“Termasuk anak-anakmu?”
“Termasuk perhatianku untuk anak-anak,” ucap Malina tegas. “Ada hal yang jauh lebih besar bagi hidup mereka.”
Nikolaus tak bisa mendebatnya. Ia mengepalkan tinju, dan bahunya bergetar. “Menjaga kelestarian hutan mungkin penting bagimu dan warisan keturunanmu, tapi tanah yang ada di dalam hutan itu bukan hal sederhana yang bisa mereka lindungi begitu saja. Look at what happened in Papua, they exploited it to the hilt.”
“Niko… aku ditakdirkan menjaga habitat satwa ini. Karena keberlangsungan keturunan mereka, amat penting bagi ekosistem kehidupan keluargaku… hutan adatku.” Malina beringsut mendekati Nikolaus. “Aku berterimakasih, karena keluargamu mau membawaku pergi dari sana, mendidikku hingga menjadi seperti sekarang ini.”
“Science plays a vital role in our everyday lives, Malina. It helps us grasp the way things operate in this world. You play a vital role in those forests, and for mother earth (Ilmu pengetahuan memainkan peran penting dalam kehidupan kita sehari-hari, Malina. Ini membantu kita memahami cara kerja segala sesuatu di dunia ini. Kamu memainkan peran penting bagi hutan, dan bagi ibu pertiwi).” Nikolaus berucap sungguh-sungguh, ia tahu perempuan di hadapannya adalah sosok penting bagi keberlangsungan hidup tanah Borneo.
“Aku tahu,” ucap Malina dengan suara serak. “Apa yang terkandung di bumi Borneo akan selalu aku jaga, dengan seluruh hidupku.”
“Itulah yang saya takut….” Tatapan Nikolaus berubah horor. “Yang kamu jaga terlalu besar. Masyarakat di hulu sungai akan marah besar, jika sampai apa yang ada di dalam bumi mereka dicuri orang-orang serakah dari Jawa.”