Di pojok ruangan kabin yang tak seberapa besar, Sachita duduk gelisah menanti kabar. Ia tak diperbolehkan keluar oleh Ambara Lawinei, sampai Mantikei dan Nanjan pulang. Sayup terdengar bisik-bisik di luar teras kabin, beberapa orang perempuan tua duduk bersama Ambara Lawinei, mereka tengah melipat Kain Pua Kumbu(35) yang telah selesai ditenun oleh kaum perempuan di rumah betang.
Bocah itu datang lagi, ia mengintip kondisi Sachita yang masih tampak bingung. Bola matanya mengerjap, tangan mungilnya meremas tirai yang menjulai di pintu. “Nuan masih sakit?”
Sachita tidak kuasa menahan haru, mendengar perhatian si bocah yang ditujukan padanya. Ia lantas menggeleng. “Aku kuat, ibu-ibu di depan sana bilang begitu.”
Bocah itu mengangguk. “ Aku tahu. Nuan kuat,” ucapnya mengangguk-angguk, lalu tersenyum lebar.
“Sini, duduk di sini.” Sachita menepuk ruang kosong di sebelah kasurnya. Ia tahu Apai Janggut bukan orang sembarang, begitupun keturunannya. “Temani aku.”
Bocah bernama Purok itu menggeser langkahnya, malu-malu ia duduk di sebelah Sachita. “Kakimu sakit?”
Sachita mengangguk. “Darimana kamu tahu kalau kakiku sakit?”
Purok menunjuk ke luar jendela, ke arah para perempuan tua Iban yang tengah mengenakan kain pua. “Manang (dukun) yang bilang. Ibuk manang (ibu dukun) membicarakan nuan di depan.”
Dahi Sachita mengernyit, alisnya nyaris bertumbuk. “Bu Ambara? Kenapa kamu bilang dukun?”
Purok menyeringai. “Manang Lawinei menyembuhkan luka pedis (sakit).” Ia menunjuk bekas luka bakar di pergelangan tangannya. “Bekas luka bakar.”
Suara bisik-bisik di teras kabin terdengar lamat-lamat. Beberapa orang bahkan terdengar melangkah pergi. Pandangan Sachita masih pada luka-luka di tangan Purok. “Kamu pernah kena luka bakar? Sakitkah?” Ia ikut meringis.
Purok menggeleng. “Tak pedis (sakit). Aku hilang di hulu sungai, lalu pulang dengan luka di tangan,” ucapnya lugu. “Api gading memberi tanda di tanganku.”
Alis Sachita terangkat tinggi, ia terbelalak mendengar pengakuan bocah Iban mungil itu. “Ka-kamu melihat mereka?”
Sambil tergelak Purok mencandainya, seolah yang sudah ia alami bukanlah hal menakutkan. “Aku bejalai mengejar kesulai (aku berjalan mengejar kupu-kupu), lalu sampailah aku di hulu sungai dan terjatuh. Aku bejalai sesingkang-sesingkang (aku berjalan selangkah-selangkah), tiba-tiba sampai di hulu sungai.”
“Kamu melihat rupa mereka?” Tanpa sadar, Sachita menjatuhkan tubuhnya di hadapan Purok. Sambil bersimpuh ia mendengarkan cerita bocah itu dengan bulu kuduk yang meremang. “Mereka bilang apa?”
“Satu-satu Akak, aku nak nemu utai (satu-satu Kak, aku tak tahu apa-apa).” Purok kembali menggeleng, ia menyentuh luka bakar di lengannya. “Ini tak pedis (ini tak sakit). Biasa saja, mereka hanya memberi tanda.”
“Tanda untuk apa?” Sachita memelototkan matanya, ia menelusuri luka di tangan Purok dengan ujung jari, luka itu menyerupai carut kasar derik kayu.
“Agar aku selamat… dari amuk api.” Ia menegaskan. “Aku sudah ditandai, Akak.”