Mantikei dan Sang Panglima Rangkong Gading

Foggy F F
Chapter #30

Tanah Suci di Jantung Rimba

Sebuah Titimangsa di Masa Lalu.

Jarak dari hilir sungai menuju hulu, teramat jauh. Ichirou berulang kali melakukan perjalanan ini hanya untuk melakukan survey pemindaian. Ia mengamati kandungan batuan mineral yang tersimpan di dalam bumi. Adanya lahan karst di dalam jantung hutan hijau adalah sebuah anomali, Ichirou menganggap ini sebagai fenomena alam yang ajaib.

Ia memandang lelaki tinggi besar dengan rambut coklat itu dengan takjub. Sebagai orang asing di negara ini, keduanya selalu memiliki kewaspadaan agar tak menyakiti penduduk asli. Ichirou kagum pada kemampuan Nikolaus –sahabatnya– dalam berkomunikasi dengan warga sekitar hutan konservasi. Mereka yang memiliki adat istiadat dan karakter yang kuat, membuat kesempatan untuk mengeksploitasi kekayaan alam di sana, nyaris tidak ada.

“Saya tahu apa yang sudah kamu dapatkan di hulu sungai, Prof.” Nikolaus Dunham tiba-tiba berdiri di depannya. 

Profesor Ichirou bertubuh kecil, tentu ia harus mendongak ketika lelaki Swedia itu menghadang langkahnya. Ichirou mendorong  kacamatanya dengan telunjuk ke pangkal hidung, ia terlihat kaget. “Apa yang kamu tahu soal penemuan saya, Niko? Apa kamu mencurigai saya akan mengeksploitasinya?”

Nikolaus menghela napas. Orang Jepang bertubuh kecil itu amat dihormatinya, ia tak mungkin sembarangan menilai. “Saya cuma khawatir.”

“Khawatir saya akan serakah? Seperti orang-orang dari perusahaan itu? Bahkan negara pun menutupi cara kerja mereka yang tamak.”

Nikolaus Dunham tersenyum mendengar kata-kata profesor besarnya. Ichirou selalu membagi karakter manusia ke dalam baik dan jahat, tak seperti dirinya yang menganggap manusia itu tak bisa diprediksi. “Jahat dan tidak bukan kapasitas saya untuk menilai, Prof.”

Exploiting indigenous people in this forest is a serious crime (mengeksploitasi masyarakat adat di hutan ini adalah sebuah tindak kejahatan).” Ichirou bicara tegas. Meski orang Jepang dikenal santun dan punya tata krama berbicara, lain halnya dengan Profesor Ichirou Aruna yang keras dan lantang dalam bersikap. Ia seorang peneliti yang berani. “Malina akan setuju dengan saya.”

Nikolaus menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Tentu saja Malina akan setuju denganmu. Dia keturunan pulau ini, nenek moyangnya ada di hutan adat.” Ia berdeham. “Keluarga saya mengangkatnya anak karena melihat Malina punya kecerdasan, dibanding penduduk lain yang cara berpikirnya lebih sederhana.”

Mendengar cara Nikolaus memuji Malina Munau, Profesor Ichirou mengangguk-angguk. “Kalau bukan karena Malina Munau Sagara, ketertarikanku pada hutan Borneo tidak akan sebesar ini.”

“Tapi… kenapa Malina lebih memercayai kita, orang-orang asing ini?” Nikolaus memicingkan mata. “Dibanding percaya pada negaranya?”

Profesor Ichirou mengangkat bahu. “Bagi Malina, asumsi sejarah sukunya menjadi buram karena historiografi bangsanya yang melulu bicara tentang penguasa dan penakluk. Malina melihat masalah yang dihadapinya dari sudut pandang mereka yang dikuasai dan dikalahkan, sepanjang hidupnya. Ini merupakan eksploitasi besar-besaran pada setiap elemen kehidupan mereka, Niko. Kamu bisa bayangkan betapa menyakitkannya ketika lahanmu dicuri orang.”

Ruangan mereka di kampus itu tak seberapa besar dibanding tempat kerja peneliti lain yang dibiayai oleh negara. Orang-orang asing yang terlihat peduli, akan jadi ancaman kedaulatan bagi sebagian orang yang mencurigai keberadaan mereka. Nikolaus pun memberi kode, agar Profesor Ichirou tak terlalu berapi-api saat bicara. Ia mengedipkan matanya, menyadari kalau beberapa orang di ruangan tengah mendengarkan mereka.

“Saya tahu, saya banyak yang mengawasi. Tapi saya harus angkat bicara… untuk keberlangsungan ilmu pengetahuan dan kawasan yang saya teliti. Jauhkan kecurigaanmu dari niat baik saya, Niko.” Ichirou terkekeh, matanya tinggal segaris. “Saya dan Malina hanya peduli pada keberlangsungan hidup orang-orang di tengah hutan.”

“Termasuk yang di hulu sungai?”

Lihat selengkapnya