Mantikei dan Sang Panglima Rangkong Gading

Foggy F F
Chapter #31

Bethari dan Kegelapan Jiwa

Ruangan berwarna merah muda itu pernah menjadi ruangan terbaik di masa hidupnya. Amanda putrinya biasa tidur di sana, dalam kelambu warna senada. Bahkan hingga ia tumbuh besar pun, kelambu bayi itu masih digunakannya sebagai penyekat ruangan. Amanda nyaman dengan kain lembut berwarna pudar, oleh karenanya Bethari tak pernah melepaskannya. 

“Silahkan duduk.” Ia menarik kursi dari meja belajar Amanda. “Rumah kami kecil, pasti sama sekali tidak seperti dalam bayanganmu,” ucap Bethari.

Satomi duduk sambil memeluk lengan, berkali-kali ia membetulkan baju hangatnya, tatapannya berkeliling mengitari ruangan. Ia sama sekali tak ragu ketika Bethari membawanya pergi, ada hal penting yang membutuhkan pertolongannya. Satomi yakin akan keputusannya meninggalkan bangsal isolasi itu. Jika pengalaman traumatis di Tolikara harus terulang lagi, Satomi bahkan rela mengalaminya kembali… demi menyelamatkan Sachita.

“Dokter Rangga nggak akan sembarangan membantu pelarianmu, kalau dia sendiri ragu-ragu,” ucap Bethari meyakinkannya. “Kamu jangan khawatir, Tomi. Aku nggak akan meninggalkanmu.”

Satomi kembali mengedarkan pandangannya, mengamati setiap senti ruangan yang masih tertata rapi dan apik. “Kamu pasti sedih kembali ke ruangan ini.”

Bethari tak menjawab, tapi ia mengangguk. Ujung jarinya menyentuh rak milik sang putri, koleksi buku-buku dongeng yang diberikan olehnya masih lengkap dan nyaris tanpa debu. Ia menyuruh orang membersihkannya, meski ia jarang sekali singgah dan bermalam.

“Bethari… jika ini berat, kita bisa menggunakan cara lain.”

“Jangan.” Bethari menggeleng. “Hanya rumah ini yang tidak akan berani mereka kunjungi, orang-orang dari perusahaan asing itu tidak akan curiga, kalau yang orang tuaku sembunyikan itu ada di sini.”

Ia membuka sebuah kotak besar yang terbuat dari kayu keruing, di dalamnya terdapat berlembar-lembar kertas dan kotak kecil. Sebuah kain tenun berwarna jingga terlipat dengan rapi. “Ini peninggalan Ibu, beliau bilang… suatu saat aku akan menggunakan kain pua ini.”

Tangan Satomi menyentuh permukaan kain yang Bethari bentangkan, rasanya lembut dan sejuk. Tak berapa lama, kepalanya tiba-tiba mendongak dengan bola mata yang memutih. Udara seperti terhisap habis dari paru-parunya, Satomi megap-megap. Sayup terdengar bunyi genderang di telinga keduanya yang bertalu-talu. Jemari Satomi menegang, meliuk seperti akar. “Semua sedang terjadi di sana.” Ia menunjuk ke jendela.

Melihat penampakan Satomi yang menyeramkan, Bethari lekas membopong tubuh perempuan berperawakan mungil itu ke pembaringan, tubuhnya masih kaku seperti papan. Bethari berbisik di atas kepala Satomi. “Lindungilah dia Tuhan, lindungi perempuan ini dan beri dia kekuatan.” 

Sambil memegang kening Satomi, yang kini terbujur kaku. Bethari membuka kotak mungil dari kayu keruing itu, lalu mengeluarkan sebongkah batu berkilauan. Batu warna lembayung itu digenggamnya erat-erat, dari pori-pori batuan mengembus hawa sejuk. Ia lekas menyentuhkannya ke sekujur tubuh Satomi yang kini menguar panas, butir-butir keringat makin menderas di keningnya.

Bola mata Satomi masih putih dan terbelalak ke atas langit-langit, lehernya kaku seperti batang pohon.  Tiba-tiba telunjuk kurus itu mengarah ke atas. “Ke Barat! Ke ujung sungai. Naik ke atas perbukitan, susuri tepian batang air,” bisiknya dengan suara menggeram. “Mereka menunggu. Lihatlah, kepak sayapnya akan menggiringmu menuju tanah leluhur. Meleburlah menjadi api, hingga tanah moyangmu sangit dan luluh lantak.”

Guntur menggelegar memecah langit, kilat saling berkejaran bersama rintik  hujan yang kian lama kian deras di luar sana. Bethari tak berani mengajak Satomi bicara, ia masih memegangi bahunya yang gemetar hebat. Satu tangannya yang lain menggenggam batu jingga itu dengan erat, permukaan dinginnya melesap di antara jemari.

Waktu merambat maju perlahan-lahan, Satomi mulai membuka mata. Wajahnya yang pucat kini berlinangan air mata. Dengan suara gemetar, ia meremas telapak tangan Bethari. “Maafkan aku,” ucapnya lirih.

Dalam hening, di antara deras air hujan, Bethari lantas meratap pilu. Ia tahu… duka cita akan kembali dirasakannya. Masih menggenggam batu api gading di tangannya, yang kini dingin seperti aliran sungai, Bethari menangis tanpa suara. 

Segenap tugas, takdir dan kisah hidupnya sebagai keturunan penjaga hutan, kembali menoreh duka di jiwanya. Bethari lekas mengenakan kain pua kumbu yang telah ditenun dan disimpan Malina Munau untuknya. Selembar kain yang hanya dikenakan oleh perempuan Iban, pada saat upacara kematian.

***

Sebuah Titimangsa di Masa Lalu.

Lihat selengkapnya