Masa Kini.
Ambara Lawinei bilang, pengalaman masyarakat Iban menunjukkan bahwa mereka bisa selamat berkat persatuan kaum lelaki, perempuan, dan para dewa-dewi dengan dibekali azimat yang ampuh. Ambara bicara begini, karena ia ikut mengalami. Namun, cara pandang Bethari tak sama dengan para perempuan Iban yang ia kenal, termasuk ibunya. Meskipun Malina Munau seorang pemikir, yang meletakkan rasio di atas segalanya, naluri sebagai seorang Dayak Iban begitu kental karena ia tumbuh bersama mereka. Malina memercayai segala ajaran kearifan lokal dan kisah nenek moyangnya.
Ratusan kali, Malina bercerita pada Bethari kecil tentang kisah penyerbuan Ngumbang Brauh Langit. Pahlawan Iban itu meminta istrinya menyiapkan sirih-pinang, lantas melakukan upacara ngajat, sebuah tarian ritual untuk memanggil tiga dewi Iban, yaitu Indai Abang, Lulong, dan Kumang, saat menghadapi musuh. Konon katanya, ada tiga ular besar jatuh dari langit dan masuk dalam sungai yang dilalui pasukan penyerbu. Ribuan pasukan gabungan kolonial Inggris dalam Ekspedisi Serang Rata mati karena kolera.
Setiap kisah dan ajaran Malina padanya, sama sekali sulit untuk Bethari percayai. Namun, pada akhirnya ia menerima setiap garisan hidup dengan segenap ketetapan hati. Bethari melakukan ritual dengan kain pua kumbu milik ibunya. Kain tenun itu konon katanya berkekuatan mistis, karena telah disimpan dan hanya dikeluarkan pada saat genting.
Para perempuan penenun pua kumbu, dianggap pemberani dan sakti saat melakukan ritual pembuatan, yang ditujukan untuk para lelaki pahlawan. Masih dengan wajah berlinang air mata, Bethari menatap langit di kejauhan sambil terisak. “Adikku… kuatkan dirimu.”
Satomi duduk di sebelahnya, ia menggenggam jemari Bethari seraya menunjuk langit. “Ia sudah terbang ke angkasa, Bethari. Sang panglima sedang mengitari langit dan membawa pendatang-pendatang itu menuju hulu sungai.”
Setiap kata dalam ucapan Satomi membuatnya berdebar. Ia kini menyadari, kalau perannya dan Satomi memang ditakdirkan untuk menyambung ingatan. Ia ditakdirkan untuk berkisah tentang keberanian orang-orang, yang mempertahankan tanah kelahiran mereka. “Apakah kamu melihat adikku di antara mereka?”
Satomi menggeleng, bola matanya melembab dan dilapisi tangisan. “Aku tak melihat Mantikei ataupun Sachita. Aku yakin mereka sedang membantu masyarakat adat di tengah hutan.” Satomi yang sejak kecil terlahir seperti jarum kompas, karena mudah mengenali arah sebuah ruang geografis, kini menatap penghujung Utara. Ia bergumam. “Aku melihat Nikolaus Dunham.”
***
Sebuah Titimangsa di Masa Lalu.
Penyesalan selalu hadir di ujung setiap perkara, kesusahan dalam hatinya disebabkan oleh dosa-dosa yang tanpa sengaja telah dilakukannya. Ia menatap anak kecil yang tertidur dalam dekapannya. “Ini semua aku lakukan untuk menyelamatkanmu dari takdir yang membelenggumu. Kamu tidak berkewajiban untuk berjuang seperti mereka yang ada di pedalaman hutan. Ada darahku di tubuhmu, darah seorang ilmuwan dari Jawa yang lebih mencintai logika dan ilmu,” gumam Arifin dalam bisikan.
Mantikei yang masih bocah mungil beringsut pelan, ia masih tertidur di pelukan sang ayah.
Sepasang tangan kecil, menyentuh lengan Arifin. Putri sulungnya menginterupsi momen kedekatan adik dan ayahnya. Bethari menatap Arifin sambil mengerjap. “Kenapa Ayah berbisik di telinga Mantikei? Apa yang Ayah katakan?”
Arifin tersenyum, ia mengelus rambut hitam legam putrinya. “Mantikei anak cerdas, Nak. Begitupun kamu.” Ia mendongak, menatap pintu putih menuju kamar istrinya. “Ibumu sedang tertidur, ia belum bisa bangun.”
“Kenapa kaki Ibu, Ayah?”
Arifin menatap kamar tidur istrinya dengan sorot mata nanar, suaranya gemetar. Bertahun-tahun dirinya dan Malina melakukan penelitian, bekerja bersama demi tegak berdirinya cita-cita keilmuan yang dibangun bersama, membangun kehidupan berkelanjutan di hutan tepi sungai Kapuas Hulu. Tapi apa mau dikata, Malina lebih mengedepankan cita-citanya untuk menurunkan tugas dan kewajiban gaib yang diberikan nenek moyangnya. Rasio itu runtuh, saat Malina bersikukuh untuk mengungkap kepergian Profesor Ichirou yang sama-sama mereka hormati. Malina menyusulnya ke tanah Borneo, berbekal peta yang diberikan Ichirou padanya.
Bethari kembali merajuk, ia kini meremas lengan Arifin lebih keras. “Kenapa kaki Ibu tidak bisa bergerak, Ayah?”