Mantikei dan Sang Panglima Rangkong Gading

Foggy F F
Chapter #33

Profesor Ichirou Aruna

Mantikei

Aku yakin, Sachita masih berada di kabin konservasi. Ia tak boleh berada di sini, ketika hal buruk terjadi. Setelah berlari sepanjang tepian sungai, aku mengikuti kepak burung besar itu di langit, bayangannya menjadi petunjuk langkahku. Ia meliuk menerjang dahan pohon yang tinggi, rangkong raksasa itu tak berhenti. 

Jalan yang berbukit-bukit menanjak hingga menuju jantung hutan yang lebih gelap, daun-daun besar menaungi kepalaku hingga nyaris menggapai langit. Aku berlari cepat bersama Nanjan, dan sayup suara-suara pekik misterius kembali terdengar dari kejauhan. Teriak marah melaung di puncak bukit, mereka yang tinggal di jantung hutan paling dalam telah terusik, kemarahannya kini tak terbendung lagi.

“Mitologi suku ini harus kamu dengar dan camkan di kepala. Mereka yang memuat cerita awal bangsa ini, kisah dewa-dewi dan makhluk supranatural yang mengawali segala sesuatu di hutan paling dalam tepian sungai Kapuas Hulu.”  

Ibu bercerita banyak sepanjang hidupnya. Ia tak pernah menyebutkan nama, tapi aku tahu suku Api Gading adalah yang ia maksud. Menurutnya, mitos suku ini dilanggengkan dari mulut ke mulut, ditakuti anak-anak hingga dewasa agar tak pergi ke tengah hutan dan mengganggu mereka yang ada di sana.

Aku menghentikan langkah, ketika jalinan pepohonan mulai tersingkap. Lahan terbuka terlihat dari kejauhan, dadaku berdentum menyaksikan apa yang tampak di depan mata. Excavator, Bulldozer, hingga Compactor berderet di lahan tanpa tuan. Beberapa tenda permanen didirikan dengan kokohnya, pasak bambu ditanam mengoyak kokohnya tanah berlumut.

Nanjan berdiri di depanku, tatapannya nanar. Matanya mencelat, dan wajahnya pucat.

“Hei, siapa kalian?” Seorang laki-laki mengenakan pakaian warna tanah, dengan pita merah melingkar di lengannya menghardik kami. Ingatanku terlempar pada kejadian tempo hari, ketika banjir bandang datang. Pakaian mereka mirip dengan para pemburu rangkong kawasan konservasi Dunham. Apakah mereka para pekerja proyek?

Aku tetap diam bergeming, menunggu mereka menghampiri. Puluhan tenda didirikan tanpa terlihat dari bukit bagian selatan, tempat kabin konservasi-ku berada. Orang-orang itu bersembunyi di jantung hutan, mereka datang tanpa mencurigakan. Membuka lahan yang sama sekali tak pernah tersentuh oleh warga adat di rumah betang.

“Siapa mereka?” bisikku pada Nanjan.

Di sebelahku, pemuda itu menggeram marah. “Mereka yang aku maksud Akak. Mereka yang menguasai hutan kita dan menggali apa yang ada di dalamnya.”

Aku terkesiap, mereka sudah menemukannya. Nanjan sudah kembali pulih, bola matanya kembali normal. Ia bicara layaknya Nanjan yang aku kenal. Di seberang ruang luas itu, orang yang tadi berteriak kini berjalan menghampiri, diikuti oleh beberapa orang lainnya. Bahkan di antara lelaki tegap itu, ada yang menyampirkan senapan laras panjang di bahunya.

“Kalian warga sini? Tidak boleh masuk ke area penambangan.”

Tambang?

“Saya Mantikei Putra Sagara, saya wartawan dari Majalah Asian Sains and Nature.” Aku berdiri tegak, berusaha tak gentar meski orang-orang yang datang berperawakan besar. “Kalian memiliki izin eksplorasi dan penambangan di sini?”

Salah satu dari lelaki berbaju coklat tanah itu tergelak, ia mengejek ucapanku. “Ini tanah negara, kita tak perlu izin. Kamu tidak tahu apa yang terkandung di dalam bumi hutan ini? Itu semua milik negara.”

Nanjan beringsut maju, emosinya tersulut. Aku lantas mencekal lengannya.

“Hei anak muda bertato. Kamu orang Dayak? Kamu hendak mengacau wilayah penambangan di sini?” Lelaki satunya lagi mengacungkan senapannya dari jarak jauh. “Kalian yang tempo hari mengganggu perburuan kawan kami di hutan bagian selatan.”

“Kalian pemburu dan pembalak liar, tanpa izin dari tetua adat kami. Kalian tidak bisa melakukan eksplorasi apapun di tanah ini,” teriakku. 

Ucapanku disambut gelak tawa rombongan mereka yang kini mendekat. Tanpa aku sadari, tiba-tiba dari arah belakang, beberapa orang lelaki yang aku kenali sebagai warga kampung adat datang berduyun-duyun. Mandau di pinggang serta kain yang melilit pinggang mereka tertambat kencang, kelompok lelaki dengan rajah memenuhi tubuh itu berdiri di belakangku. Mereka berbanjar, dengan dada tegap dipenuhi rajah. Tua dan muda, mereka berdiri dengan gagah berani.

Aku teringat sesuatu, saat Apai Janggut yang memimpin rombongan tengah berbicara dengan orang-orang proyek penambangan. Aku mendongak menatap langit, mencari kepak sayap burung raksasa yang tiba-tiba hilang.

“Baka ni, Akak? (bagaimana ini, Kak?) Ia mengikuti tatapanku, menyusuri langit dan mencari bayangan yang menuntun kami kemari. “Ia hilang, kini pegi? (kemana perginya?)”

Lihat selengkapnya