Mantikei dan Sang Panglima Rangkong Gading

Foggy F F
Chapter #34

Kepak Sang Panglima

Kepak sayap burung besar kembali menutup langit di atas orang-orang yang berdiri saling berhadapan. Wajah mereka dipenuhi kemarahan. Nanjan segera mengangkat mandau miliknya, diikuti para pemuda dengan rajah bunga terung di dada mereka. Apai Janggut berada di barisan paling depan. Namun, tak ada yang memperhatikan… kalau Mantikei menghilang. 

Hugo datang tergopoh-gopoh, akhirnya ia memutuskan untuk mengikuti jejak Mantikei dan Nanjan ke area terbuka proyek penambangan di hulu sungai. Hugo mengamati wajah setiap orang yang saling berhadapan, warga hutan adat bersiap dengan mandau dan kain pua di pinggang, sorot di wajah mereka terlihat liar dan marah. Ia melihat Nanjan berdiri paling depan, pemuda dengan dada tegap dan rambut panjang itu mendongak menatap langit. Ia sedang mengawasi kepak burung besar yang meliuk membayangi langit.

Hugo melihatnya, sekilas ia melihat Mantikei tepat berada di puncak bukit. Matanya terbelalak, ketika wajah-wajah asing menyeramkan berada tepat di belakang tubuh Mantikei. Lelaki modern dari kota yang dikenalnya itu, berubah wujud. Wajahnya memerah, ikat kain berwarna terang di kepalanya itu menyangga bulu ekor rangkong berwarna putih. Mantikei memimpin sepasukan orang-orang asing menyeramkan yang berasal dari hulu sungai. Ia memimpin pasukan suku Api Gading, yang selama ini menjadi mitos yang ditakuti. Hugo tergemap.

Aram belaya! (ayo bertarung!)” Suara Nanjan menyobek langit, teriakannya yang lantang memenuhi udara di sekitar hutan. Para tetua yang berdiri bersebelahan dengannya, memasang kuda-kuda.

Mereka yang berseragam warna tanah dan pita merah terlilit di lengan, membawa senjata api. Meski tubuh mereka besar-besar, sorot ketakutan terpancar di binar mata setiap manusia pendatang.  

Langit berubah kelam, awan kelabu turun menggapai puncak-puncak pohon yang tinggi. Gemuruh angin dari penghujung langit, menyapu daratan tempat manusia-manusia tengah saling berhadapan. Barisan yang dipimpin Nanjan, berbanjar membentuk sebuah gelar tempur. Para tetua yang dipimpin Apai Janggut, berada di ujung paling depan dengan mata mandau mengkilap diacungkan. Rajah di tubuh mereka berpendar, seolah sinar mentari terserap di tubuh setiap bujang barani. 

Seluruh barisan prajurit Nanjan gemetar dalam senyap, ketika kepak burung besar bersibaran. Angin menderu bersama gerak sayapnya. Di antara liuk Sang Panglima, suara asing dari puncak bukit meraung membahana, pekiknya menyobek udara. Mantikei berteriak nyaring, dadanya membusung, bola matanya memutih. Ia bersama puluhan manusia asing yang selama ini menjadi mitos dan ditakuti, berdiri menantang para pendatang yang menggali tanah mereka dengan membabi buta. Mantikei berdiri memimpin suku Api Gading yang sedang murka.  

***

Di tepi sungai, Sachita melangkah dengan pandangan tegak ke depan, mengikuti arahan Ambara Lawinei. Tubuhnya dibalut kain pua kumbu berwarna lembayung, motif rumit menghiasi jalinan di atas punggungnya.

Dengan langkah besar-besar, derap kaki Salman mengikuti rombongan. Meski jantungnya berdegup amat kencang, di benaknya hanya satu… menjaga Sachita seperti yang dipesankan oleh Satomi dan Bethari.

Tepat di sisi sungai dengan bebatuan besar-besar, rombongan Ambara Lawinei berhenti. Wajah Ambara merona merah, di sisinya Danum Riwet mengenakan kain yang sama. Ia menunggu Ambara Lawinei memberi aba-aba. 

Sachita beringsut mendekat, ketika Ambara mengayunkan tangannya memberi instruksi. Ia menggelar kain pua yang dilipatnya di pinggang. Sachita duduk bersila bersama dengannya. Tangan Ambara dan Sachita saling bersentuhan, sebuah batu yang terasa licin dan dingin berpindah tangan dari jemari Ambara ke telapak Sachita. 

Lihat selengkapnya