Sachita
Binar merah di ujung kegelapan, mengingatkanku pada sinar surya menjelang petang. Jingga dan pekat. Aku berhenti ketika ujung sepatuku terantuk akar besar.
“Hati-hati, Sachi. Tidak semua hutan bisa kamu taklukkan.” Suara bariton di sisiku menemani langkah mengurai jalur setapak menuju batang air. Kali ini, kami menyusuri area konservasi sebelah timur sungai Kapuas. Jarang sekali kami ke sini, karena setelah kebakaran hutan setahun lalu, area konservasi satwa langka dialihkan kemari.
“Lihat, Man. Rangga,” bisikku pelan.
Salman mengerutkan dahinya. “Rangga?”
“Iya, Rangga. Rangkong gading,” ucapku sambil tersenyum. “Dulu, Nanjan yang sering menggunakan panggilan ini untuk mereka.” Aku masih bicara dengan berbisik. “Kata dia, 'Rangga' terdengar lebih manusiawi.”
Mendengar nama pemuda itu, Salman menunjukkan reaksi yang tak kusangka. Ia berdo’a. “Andai aku sempat mengenal anak Bu Ambara itu, Sachi.”
“Kamu akan menyukainya,” sambungku sambil mengangguk. “Ia bujang berani yang baik dan ramah. Aku belajar banyak dari sikap hidup mereka.”
Keok di puncak dahan terdengar, seperti tawa seorang kakek-kakek. Suara khas rangkong gading terdengar seperti manusia, pantas saja sejarahnya dekat dengan aura mistis hutan Kalimantan. Sebuah lubang terlihat di antara dahan, keciap bayi rangkong terdengar di dalamnya. Aku menyiapkan lensa dari jarak dekat, mengintip dan membidiknya dengan cermat. Tiba-tiba dadaku terasa sesak, sebersit perasaan gamang mendera hatiku. Sambil berpegangan pada batang pohon langkahku terhuyung.
“Hei Sachi… kamu baik-baik aja? Kenapa?” Salman mengecek kondisiku, ia menempelkan punggung tangannya di dahi. “Kamu sakit?”
Aku menggeleng, dan menurunkan lensaku, tak jadi mengambil gambar. Sesuatu membuat dadaku terasa sesak tiba-tiba, tenggorokanku tercekat. Salman menyuruhku duduk di akar pohon besar, ia menyodorkan sebotol air putih di dalam wadah yang dibekalnya.
Setelah beberapa menit berlalu dalam hening. Salman memberanikan diri kembali bertanya. “Kenapa?”
Sepanjang kejadian yang menimpaku, menimpa hutan adat, menimpa orang-orang yang sempat singgah di hidupku meskipun hanya sesaat, aku tak pernah menangis lepas. Aku simpan rapat-rapat setiap gundah gulana dan duka cita di relung hati yang paling dalam, dan menjalani hari seperti biasanya. Kini semua buncah, ketika aku kembali ke hutan yang sama. “Man…,” bisikku dalam suara parau.
Tanpa bicara, tanpa harus menjelaskan apa-apa. Salman merengkuh bahuku, dan ia memelukku erat. Ia tahu siapa yang ada di benakku saat ini. “Aku tahu, Sachi. Aku tahu.”
Aku menangis tersedu di bahu Salman. Air mataku meleleh tak berhenti. “Aku merindukannya, Man. Hutan ini merindukan dia, hutan ini merindukan mereka yang gugur.”
Kesiur angin mengusap halus rambutku yang terurai. Hawa dingin menyentuh tengkuk, seolah alam hendak mengucap selamat datang kembali, padaku yang tengah merasakan sedih mendalam. Aku mendongak, menatap langit yang bersembunyi di antara kanopi daun. Pohon-pohon menjulang mengawal langkahku sedari datang tadi, kini batangnya bergoyang. Ini bukan angin ribut, ini hawa sejuk yang membuat pori-pori kulitku meremang.
Dari balik dahan pohon ulin, sepasang mata mengerjap memandangiku. Aku ingat dia, lutung merah kemudian mengikuti gerak-gerikku. Kepalanya bergerak-gerak jenaka, memancing senyum di bibirku. “Apa kabar makhluk cantik? Sudah lama kita tidak bertemu.”
Salman menyusul langkahku, ia terkesima. “Cantik sekali kera itu.”
Aku mengangguk, udara yang sayup mengalir di tubuh kami terasa sejuk. Seolah hutan hendak mengobati hatiku yang beringsang.
“Kamu merasakan sesuatu?” Salman mengedarkan pandangannya.