Warna kopi di cangkir ini begitu pekat. Begitu, pikir Andara. Hitam pekat dengan beberapa gelembung di pinggirannya. Ia menatap lekat pada rupa kopi di cangkir di depannya. Seperti berada di tempat lain, Andara tidak memperhatikan sekelilingnya sama sekali. Meskipun tubuhnya sedang duduk di salah satu kursi di pojokan kafe itu, rupanya keberadaannya tengah berada di pusaran gelombang yang lain. Suara-suara di sekitarnya menghilang. Ia tidak mendengar apa pun. Ia menopang dagunya dengan punggung tangannya. Matanya terpaku pada secangkir kopi di depannya.
Beberapa lelaki kulit putih yang duduk tidak jauh dari tempat Andara duduk saling berbisik-bisik, “Kamu lihat perempuan itu?” Tanya salah satu dari mereka. Teman-temannya mengangguk. “Damn, bukannya dia cantik sekali?” Sahutnya lagi. Sekali lagi teman-temannya mengangguk tanda menyetujui.
“Bagaimana bisa dia secantik itu?” Timpal yang lain. “Padahal, dia hanya memakai hoodie dan nampak berantakan sekali. Tetapi, dia tetap cantik. Aneh sekali.”
“Bahkan cewekku dandan dengan bedak tebal sekali pun tidak akan bisa sedikit saja menyamai kecantikan cewek itu,” ujar yang lain. “Tapi, kalian lihat, dia seperti sedang kerasukan entah apa… lihat… dari tadi dia hanya duduk di sana, sudah hampir setengah jam, dan tidak menyentuh kopinya sama sekali.”
“Apakah menurutmu dia agak…,” temannya yang lain menunjuk pelipisnya dengan jari telunjuknya dan memutarnya beberapa kali. “Iya, kan? Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Dia boleh saja sangat sangat cantik seperti Hera, tetapi ternyata Tuhan Yesus tidak memberkatinya dengan kewarasan.”