“Hametokaken rare jro weteng, ma, om, kaki jol, nini jol kaki borojol, nini borojol, hametokaken rare jro wetenge si hanu demenggal borojol, brol, sra, suruh temu rose rinayuhan…”
Pada suatu malam yang terlampau hening, terdengar suara-suara halus serupa bisikan dari rumah yang sudah berbahan batu bata, bercat putih, dengan dinding-dinding yang terlalu tinggi. Suara-suara itu mengulang kata-kata yang sama. Hametokaken rare jro weteng, ma, om, kaki jol….
Sumber suara itu adalah bibir seorang nenek tua yang terkenal di desa dekat laut itu sebagai dukun anak. Suara-suara yang ia buat adalah upayanya agar dapat mengeluarkan bayi dari kandungan seorang perempuan istri wong Landa. Entah bagaimana, sudah lebih dari seharian, bayi itu tidak mau keluar juga dari rahim ibunya.
“Mungkin sungsang, nyai…,” ujar seorang perempuan yang tadi membantunya membawa-bawakan barang peralatan untuk bersalin dari rumahnya yang terletak di ujung desa, dekat dengan mulut hutan terlarang.
“Ini akibat dari perempuan Jawa nikah sama Meneer. Bayinya jadi ndak mau keluar…,” seorang babu yang sudah lama bekerja di rumah itu, yang rupanya iri pada si nyonya rumah yang di matanya hanya perempuan Jawa biasa, berseloroh sambil berkacak pinggang dan matanya melirik ke arah si dukun anak. “Ya, tho, nyai?” Lanjutnya, menegaskan.