Tangan Dinan menari di atas papan ketik, seakan jari-jarinya menyusun melodi dalam senyap. Pandangannya tajam menatap layar monitor, fokus. Terlihat seorang wanita berambut pendek bersandar santai di meja kerja, di samping. Tangannya menopang dagu, mata mengamati gerak-gerik Dinan dengan penuh minat.
"Fokus banget, Din. Nggak laper apa? Nanti siang ke kantin, yuk!" ujar Sabil sambil mengembangkan senyum semanis martabak hangat di malam minggu.
Dinan hanya menoleh sebentar seraya membalas senyuman itu secukupnya. Sementara Sabil menarik napas panjang yang berat. Mengambil camilan teri goreng dan menggigitnya perlahan seperti memamah waktu.
Pukul 12.00 WIB.
Sabil tanpa basa-basi menarik tangan Dinan. Dua sahabat itu melangkah cepat menuju kantin seperti pemburu lapar yang mengejar mangsa.
“Mbak, saya pesen mi wor, es teh satu sama jus jeruknya satu,” ucap Sabil dengan penuh semangat.
“Baik. Ada lagi nggak?” kata seorang pelayan dengan catatan di tangan.
“Nggak, Mbak. Itu aja. Oh iya, banyakin bawang gorengnya, ya.”
“Baik. Ditunggu sebentar ya.”
“Oke.”
Sabil terlihat sumringah, matanya bersinar seolah dunia sedang baik-baik saja.
Namun, Dinan tidak sepenuhnya larut dalam euforia makan siang. Pandangannya mencuri-curi arah ke seorang pria yang duduk di sudut—seorang rekan kantor yang dikenal pendiam dan jarang tersenyum: Arsat Wildan.
Meski tangannya lihai memotong bakso dan menyeruput minuman, perhatian Dinan teralihkan. Arsat duduk sendiri, ditemani secangkir kopi hitam dan layar tablet yang menayangkan video pendek. Hanya terlihat seorang pria dari dunia lain—hening, penuh misteri, dan tak tersentuh oleh riuh dunia.
"Cowok itu orangnya dingin lho, Din. Selama kerja di sini belum pernah ada cerita dia deket sama cewek," celetuk Sabil sambil menahan tawa.
Dinan hanya mengangguk kecil. Dalam hatinya, ia tahu lelaki seperti Arsat, pendiam dan penuh rahasia—memiliki daya tarik yang tidak bisa dijelaskan. Laki-laki biasanya mudah jatuh, tapi Arsat? Tak tergoyahkan.
"Kalau lu sih beda. Udah cantik, seksi, tapi laki-laki pada takut. Mungkin karena lu keliatan galak kayak kepala sekolah," goda Sabil lagi.
Dinan hanya tersenyum simpul lalu menurunkan suara. "Gua pikir semua laki-laki sama aja, buaya."