Bi Ijah datang dengan langkah tergesa, wajahnya tampak gelisah seolah sedang dikejar waktu. Ia hanya berkata bahwa dirinya diutus ibunda Dinan untuk mengembalikan flashdisk yang semalam dipinjam. Usai menyerahkan benda mungil itu, Bi Ijah buru-buru pamit tanpa sempat basa-basi seperti ada sesuatu yang ingin dihindari.
Dinan yang semula panik mencoba menenangkan diri. Setelah napasnya kembali teratur dan lampu kamar mandi menyala normal, ia memberanikan diri masuk kembali. Tetapi baru saja hendak melangkah ke bak, tatapannya terpaku pada cermin. Sebuah bayangan hitam berdiri di balik pantulannya, menatap tajam—tatapan kosong namun menusuk.
Jantung Dinan seakan berhenti berdetak. Mereka saling menatap selama beberapa detik yang terasa seperti selamanya, hingga jeritan melengking pecah malam itu.
"AAAaaaaa...!"
Seisi rumah sontak geger. Sang ayah segera memeriksa kamar mandi, sementara ibunya mendekap Dinan yang masih gemetaran. Namun tidak ada siapa pun di dalam, tak ada sosok gelap, hanya bayangan lampu di permukaan air. Pak Minto, satpam keluarga, pun ikut mengecek, tetap nihil.
"Tadi ada bayangan item… di cermin," lirih Dinan.
Ibunya mencoba menenangkan lalu menemani untuk membilas tubuh. Tetapi kehadiran Dinan yang hanya mengenakan handuk putih tipis membuat Pak Minto salah tingkah. Tatapannya terpeleset ke arah yang tak seharusnya. Sejenak suasana menjadi kikuk.
***
"Halusinasi lu doang itu. Mandi busa kelamaan sih, sampe ngebayangin setan,” cibir Sabil sambil mengunyah teri goreng, suara renyah dari mulutnya seolah menertawakan rasa takut Dinan.
Dinan mengernyit. Matanya membulat disertai napas sedikit memburu, mencoba meyakinkan sahabatnya bahwa yang dilihat bukan sekadar bayang-bayang permainan cahaya. “Ih, serius Bil. Mukanya serem banget. Bukan bayangan biasa. Itu kayak sosok yang punya dendam.”
Namun Sabil hanya tersenyum kecut sambil berdiri, lalu menepuk bahu Dinan pelan seolah berkata: “Yang sabar ya.” Ia pun berbalik pergi tanpa sepatah kata pun, langkahnya ringan, tak peduli, seakan cerita Dinan hanyalah angin lalu di musim kemarau.
Dinan mendesah panjang. Ia merasa seperti berbicara pada dinding kosong. Di balik cemberutnya, ada resah yang perlahan mengendap di sudut hatinya—seolah malam itu tak hanya meninggalkan bayangan di cermin, tapi juga menyisakan sesuatu yang belum selesai.
***
Dinan menuju ruang fotokopi, hendak menyalin beberapa berkas. Tetapi baru dua lembar keluar, tiba-tiba mesin mengeluarkan suara nyaring—alarm kesalahan menyala.