Mantra Cinta Mengintai

Jagat Aripin
Chapter #3

Aroma Melati dan Tatapan Mata

Di ruangan bercat abu-abu pucat itu ada sesuatu yang tak terlihat namun, mulai bekerja pelan-pelan. Energi jahat merayap diam-diam, menyusup ke dalam tubuh Bahar, sang pimpinan yang telah mengabdi di perusahaan selama 25 tahun. Ia merasa kepalanya sedikit berat saat pertama kali masuk kantor. Ada aroma melati yang menusuk hidung, wangi yang tidak lazim seperti pertanda dari dunia yang tak kasat mata.

Saat seorang calon karyawan memperkenalkan diri dengan percaya diri, Bahar hanya bisa terpaku.

"Perkenalkan, nama saya Johan Marzuki. Sarjana Ekonomi, pengalaman bagian pemasaran selama tujuh tahun. Sudah banyak perusahaan ternama yang menggunakan jasa saya. Saya rasa saya bisa bekerja di sini dan membuat perusahaan ini lebih baik," ucapnya sambil tersenyum lebar.

Entah sihir atau kebetulan, Bahar otomatis menjabat tangan Johan. Tanpa bertele-tele langsung berkata:

"Mulai besok kamu sudah bisa bekerja. Selamat!"

Senyuman Johan mengembang penuh teka-teki. Ia merapikan dasi hitam di lehernya—dasi yang tampak lebih seperti simbol perjanjian gelap daripada aksesori kerja biasa.

***

Di lorong yang senyap, lampu neon berkedip pelan seolah enggan menyinari sepenuhnya. Bayangan panjang membentang di lantai seperti hendak menelan siapa pun yang lewat. Dinan, melangkah tenang menuju ke suatu ruangan. Namun ketenangannya terusik oleh sosok asing yang muncul begitu saja dari balik tikungan.

"Hai, kita ketemu lagi," suara itu terdengar serak, seolah keluar dari kerongkongan yang menyimpan rahasia. Tatapannya menusuk, senyumannya tipis seperti sayatan.

Dinan menoleh. Hatinya sempat tercekat. Cowok itu berdiri terlalu dekat, aromanya tak asing. Seperti bau hujan yang jatuh di tanah makam.

"Saya Johan," ujarnya sambil menatap tak berkedip. "Mulai besok kita akan sering ketemu karena saya diterima kerja hari ini."

Seketika udara terasa lebih berat. Dinan tersenyum tipis, tetapi senyumnya seperti daun kering yang jatuh tanpa bunyi.

"Oh, selamat bergabung. Saya Dinan," balasnya pelan, tangannya ragu sebelum akhirnya menjabat tangan Johan yang dingin seperti batu nisan.

Sesaat setelah itu, lampu di atas mereka berkedip sekali lagi—dan padam untuk sepersekian detik.

Ketika cahaya kembali, Johan masih berdiri di tempat yang sama, namun matanya seolah sudah tahu terlalu banyak tentang Dinan.

Begitu Dinan melangkah, Johan hanya menatap dari belakang sembari tersenyum miring. Sorot mata menyimpan niat yang tak ramah, seperti rencana yang sudah disusun sejak lama.

Terdengar suara ketukan. Dari balik meja, Bahar berseru:

"Masuk!"

Dinan masuk membawa map kuning berisi laporan mingguan. "Maaf, Pak. Saya mengantarkan laporan minggu ini."

Lihat selengkapnya