Mantra Cinta Mengintai

Jagat Aripin
Chapter #4

Bayang-Bayang di Balik Teri Goreng

Sudah dua kali Angku muncul tiba-tiba seperti setan magang, membuat jantung Arsat nyaris melompat keluar dari dada. Entah kenapa cowok itu selalu datang di saat-saat paling tidak diharapkan—diam-diam, tanpa suara seperti hantu pel lantai. Arsat menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu tak karuan. Ia menepuk lantai dengan kesal, tapi bukannya lega, justru telapak tangannya terasa nyeri seperti ditampar balik oleh lantai yang ikut kesal.

"Aw!"

Wajah Arsat mengeras, rahangnya menegang selayaknya menahan amarah yang hampir tumpah. Dengan geram meraba lantai gelap—gerakan tangannya tergesa. Begitu ponsel itu berhasil diraih, ia menarik napas lega, berdiri perlahan, dan melangkah pelan sambil merapikan baju yang sudah basah oleh keringat. Tubuhnya menggigil, bukan karena suhu, tetapi karena sesuatu yang tak bisa dijelaskan.

Langkahnya pelan, wajah pun pucat seperti kapur disiram embun. Arsat sontak menghentikan langkah. Untuk sesaat, dunia seperti menahan napas.

"Aneh, kok merinding ya?" gumamnya.

***

Arsat disambut oleh sang ayah, Darwis, yang berdiri di depan pintu. Sejak ibunya meninggal karena penyakit parah tahun lalu, Arsat menjadi satu-satunya penghibur hidup Darwis. Ia pun memasukkan motornya ke garasi dengan malas.

"Ayah sudah masak sup ayam. Coba, enak lho," kata Darwis sambil menarik lengan anaknya dengan penuh harap.

Namun Arsat hanya mengangguk tanpa gairah. Wajahnya muram, tubuhnya menurut seperti kerbau yang ditarik tali dari hidung. Ia duduk dan menerima suapan dari Darwis, namun buru-buru menelan malah tersenyum palsu.

“Enak kok, Arsat makan di kamar aja,” ujarnya cepat. Berlari ke kamar dengan membawa mangkuk sup itu. Setibanya di kamar langsung memuntahkannya ke tempat sampah.

"Asin banget, ya ampun," gerutunya.

Masakan Darwis selalu gagal. Terlalu pedas, terlalu asin, atau malah seperti kemarin—pisang goreng bumbu opor. Tetapi Arsat tak pernah tega berkata jujur. Ia memilih diam dan menyimpan rasa di lidahnya sendiri.

Setelah membasuh wajah dan mengelap bibir yang perih karena sup asin, Arsat menjatuhkan diri ke kasur. Baru saja matanya terpejam sepuluh menit, tiba-tiba...

"GRAAAAWRRHH!"

Raungan mengerikan membelah keheningan. Arsat terbangun dengan napas terengah. Ia bangkit lalu memeriksa sekeliling, tapi tidak ada apa-apa. Dingin mulai merayap dari ubun-ubun sampai ke kaki.

Arsat memilih mengabaikan kejadian aneh itu. Ia menganggapnya tak lebih dari bunga tidur—mimpi aneh yang tidak perlu dipikirkan panjang. Lagi pula, ini bukan pertama kalinya hal semacam itu terjadi.

Arsat lalu menuju kamar mandi. Air dingin menyentuh kulitnya, membuat tubuhnya sedikit menggigil. Namun entah kenapa, setelah mandi, tanpa banyak pikir ia langsung rebahan dan tertidur pulas, seolah ada sesuatu yang membuat mata berat dan pikirannya gelap begitu saja.

Seakan-akan, ada kekuatan tak kasat mata yang sengaja menidurkannya.

***

Pagi merangkak masuk bersama suara alarm yang meraung-raung seperti sirene kapal karam. Bunyinya membelah keheningan kamar Arsat tanpa ampun, namun pemilik kamar hanya menggeliat seolah itu gangguan sepele dari dunia lain. Tak tahan mendengar deru itu terus menerus, Darwis membuka pintu kamar perlahan dan melongok ke dalam.

"Arsat! Bangun... sudah pagi," ucapnya lembut, meski suaranya sedikit lelah.

Namun Arsat hanya mendengus, seperti kucing yang enggan dipindahkan dari tempat tidur. Ia menggulung diri di balik selimut yang sudah kusut dengan malas.

Rambutnya berantakan, menjulang liar ke segala arah—seperti sarang burung yang dibangun dengan terburu-buru di tengah badai. Wajahnya sayu disertai kelopak mata berat berusaha melihat dunia yang fana.

Darwis hanya menghela napas lalu berjalan keluar kamar sambil menggeleng pelan. Sementara itu, alarm terus meraung, memekakkan, seperti ingin membangunkan bukan hanya Arsat, tapi juga setan-setan yang tidur di bawah ranjang.

***

Lihat selengkapnya