Orang yang pernah memesan desain kepada Arsat kembali muncul di ruang kerja. Wajahnya tenang, tetapi sorot matanya menuntut hasil. Ia mendekat lalu menagih janji.
Arsat segera menunjukkan desain poster terbaru—ada sedikit perubahan dari versi kemarin. Sang pria tampak puas, senyumnya mengembang seperti orang baru menang slots.
"Setelah ini, tolong kirim file mentahnya ke email saya, ya?"
"Baik, Pak," jawab Arsat singkat.
Sebelum benar-benar pergi, pria itu sempat berhenti di samping Arsat dan menepuk bahunya pelan. Sentuhan itu ringan, tetapi ada sesuatu yang tertinggal, semacam kesan ganjil yang merayap tanpa suara.
“Nggak rugi perusahaan ini punya kamu, Sat,” katanya sambil tertawa kecil. “Kalau begini caranya, perusahaan nggak perlu repot-repot keluar duit buat sewa desainer.”
Arsat hanya tersenyum. Senyuman yang menggantung seperti hendak menjawab tetapi urung. Ada kata-kata yang mengendap di kerongkongan biarpun dibiarkan tenggelam.
Setelah orang itu hilang di balik pintu, Arsat menarik napas pelan. Ia segera membuka folder, membuka surel dan mulai mengunggah file seperti yang diminta. Namun di sudut pikirannya, entah kenapa, ucapan dan sentuhan tadi terus terngiang—menempel seperti bayangan di belakang cahaya.
***
Darwis, duduk termenung di depan rumah. Tatapannya kosong menembus cakrawala seperti sedang berbincang diam-diam dengan kenangan.
Arsat memarkir motor lantas menyelinap masuk ke dalam rumah. Helm masih menempel di kepala, tapi langkahnya terhenti saat hidungnya mencium aroma yang menggoda, menusuk, dan membangkitkan nafsu makan—terasi!
Pandangan Arsat menyapu ruang makan, air liurnya hampir menetes saat melihat pemandangan yang seolah datang dari surga kuliner: semangkuk kecil sambal terasi dengan cabe hijau berkilau, sepiring daun singkong, sawi, dan terong rebus yang masih mengepulkan uap tipis.
Tanpa pikir panjang, Arsat menyambar potongan terong, mencocol sambal dan memasukkannya ke mulut.