Dinan baru saja merapikan meja kerja. Wajahnya berseri seolah seluruh beban hari ini terangkat bersama selesainya laporan terakhir. Ia menarik napas lega, meraih ponsel kemudian menoleh—dan mendapati Angku berdiri seperti tiang listrik yang mendadak tumbuh di depan mata.
“Mbak Dinan, makasih ya nasi gorengnya. Ini, saya balikin kotak nasinya,” ucap Angku sambil menyodorkan wadah plastik dengan dua tangan seperti mengembalikan benda keramat.
Namun wajah Dinan langsung berubah. Senyum cerahnya lenyap digantikan raut masam yang membuat udara di sekitar menciut.
Ia memainkan giginya—mengeretuk pelan—dan suara krek-krek-krek! itu menyusup masuk ke telinga Angku, menimbulkan rasa ngilu seperti digaruk kuku di papan tulis.
“Tenang kok, Mbak. Sudah saya cuci... beneran!” Angku mencoba menenangkan, tapi justru makin gentar. Tatapan Dinan kini seperti harimau lapar yang baru bangun tidur dan belum dikasih sarapan.
Tanpa sepatah kata, Dinan menyambar kotak nasi itu laksana elang merebut mangsanya. Angku langsung kabur, langkahnya buru-buru seperti mengejar bus terakhir.
Brak!
Kotak nasi mendarat di meja dengan kasar. Tutupnya mental, terguncang hingga sendok stainless terurai.
“Kenapa sih? Kenapa semua cowok itu sama aja?” Dinan mendesis geram. “Gua masak, gua niat... eh malah dikasih ke orang lain. Salah gua apa coba? Nggak normal kali gua?!”
Dalam kekesalan, Dinan menyambar toples teri goreng milik Sabil. Makan dengan beringas seolah teri goreng itu adalah simbol penghancur rasa sakit hati.
Beberapa saat kemudian, Sabil datang. Ia langsung terpaku melihat Dinan, si anggun jelita itu kini berubah menjadi preman pasar yang kehausan kasih sayang.
“Bujug! Patah hati bisa-bisanya bikin lu makan teri goreng seganas itu,” bisik Sabil, mendekat pelan.
Dinan menatapnya sekilas lalu kembali mengunyah dengan mulut penuh. Suaranya cempreng tapi penuh luka.
“Cowok itu, Bil. Si Arsat! Nggak habis-habis nyuekin gua. Nasi goreng buatan sendiri loh, pakai hati dan harapan—malah dikasih ke orang lain!”
Sabil mengelus punggung sahabatnya, mencoba menenangkan. “Sabar, cowok emang suka gitu. Pikirannya kayak kalkulator rusak, suka ngaco sendiri.”
Tepat saat itu, Arsat lewat. Dinan langsung bangkit, langkahnya mantap diiringi mata menyala seperti bara.
“Hei, lu!” serunya lantang. “Lu tuh manusia apa batu? Gua masak dengan cinta, lu malah kasih ke orang lain? Sakit tau nggak?! Sakit!”
Suasana kantor sontak hening. Semua pasang mata menoleh. Arsat terbengong, kaget tak karuan.
“Bukan nggak menghargai, Dinan. Aku tuh udah kenyang,” jawab Arsat lemah seperti anak sekolah yang ketahuan nyontek.
Dinan mendengus. Ia melipat tangan, berdiri tegak dengan dagu terangkat. Saat Arsat mencoba memberi penjelasan lagi, terdengar suara bisik-bisik di belakang.
“Eh, parfumnya wangi banget.”
Namun dua tokoh utama drama ini tak peduli. Mereka sibuk saling lempar kata.
“Oke! Kalo gitu kita makan siang bareng hari ini!” tantang Dinan.
Arsat panik. “Aduh... hari ini aku ada kerjaan luar. Sampe sore... nggak bisa, maaf ya.”
“Cowok brengsek!” pekik Dinan.