Mantra Cinta Mengintai

Jagat Aripin
Chapter #11

Ajian Jaran Goyang

Dinan membawa mobilnya menuju sebuah tempat yang tak biasa: rumah seorang dukun pelet yang katanya ampuh menaklukkan hati siapa pun yang diinginkan. Perjalanan itu menelan waktu hampir satu jam, namun yang dirasakan bukan kelelahan, melainkan gemetar yang tak bisa dijelaskan.

Ia berhenti di depan sebuah rumah megah bergaya kerajaan kuno. Pilar-pilar tinggi menjulang seperti benteng istana, namun keanggunan itu diselimuti aura mencekam. Angin seolah enggan berhembus, dan matahari tak berani menyinari pekarangan rumah tersebut. Baru saja kakinya menyentuh tanah, bulu kuduknya berdiri seolah ada bisikan yang menyambutnya dari balik pintu gerbang.

Dering bel menggema tiga kali sebelum sosok penjaga membuka pintu. Lelaki berkulit legam dengan wajah tanpa ekspresi, berkumis tebal dan kepala plontos, berdiri mematung seperti patung batu. Matanya kosong, suaranya dingin.

“Masuk.”

Langkahnya berat ketika mengikuti pria misterius. Setiap sudut rumah seperti berbisik, setiap bayangan seolah mengawasi. Ketika pintu terbuka, aroma dupa dan kemenyan langsung menyerbu hidungnya—pekat, menyumbat seperti menyelimuti dirinya dalam kabut tak kasat mata.

Nyi Pingit duduk bersila di tengah ruangan, dikelilingi tujuh batang dupa yang mengepulkan asap membumbung lurus ke langit-langit. Wanita itu mungkin berusia empat puluhan, namun aura kecantikannya masih menyala, misterius seperti bunga bangkai yang mekar tengah malam. Tangan kanannya sibuk bermain ponsel seolah dunia mistis bisa menunggu.

“Kamu yang chat saya semalam, ya?” katanya tanpa menoleh. “Apa pun masalahmu, bisa diatasi. Tenang saja.”

“Iya, Nyi. Seperti yang saya bilang. Ada laki-laki yang saya suka, tapi dia selalu menolak saya.”

Nyi Pingit mengangguk perlahan. “Tenang, Cah Ayu. Saya punya ajian kuno. Ilmu turun-temurun yang bisa membuat siapa pun tunduk padamu. Namanya Ajian Jaran Goyang.”

Dinan menelan ludah. Nama itu menggema dalam kepalanya seperti mantra berbahaya.

“Tapi,” lanjut Nyi Pingit, “segala ilmu sakti punya syarat dan resiko. Untuk menyatu dengan kekuatan ini, kau harus jalani puasa mutih tujuh hari. Lalu pada hari ketujuh kamu harus menjalani pati geni—tanpa makan, tanpa minum, tanpa tidur. Dan itu harus dilakukan di sini. Dalam pengawasan saya.”

Dinan bergidik. Jantungnya berdebar seperti genderang perang. Tapi tekad dalam dirinya jauh lebih keras dari rasa takut yang menggigit kulitnya. Dengan tangan gemetar namun mantap, ia merogoh tas dan menyerahkan sebuah amplop cokelat tebal.

"Ini tanda keseriusan saya, Nyi," ucapnya pelan.

Nyi Pingit tak menjawab. Ia hanya menyeringai tipis seakan-akan tahu bahwa dengan penyerahan itu. Satu langkah kaki Dinan sudah menapaki jalan yang tak bisa kembali.

Amplop itu lenyap di balik selendangnya dan seketika suasana di ruangan berubah. Lampu redup meredup lebih pekat, aroma dupa kian menyesak, dan hawa dingin menyusup ke sela-sela pori.

"Kalau begitu, mari kita mulai," bisik Nyi Pingit. Suaranya berat—seolah berasal dari dua mulut.

Hari Pertama

Dinan keluar dari ruang Bahar dengan langkah ringan namun sorot mata yang berbeda. Justru berpapasan dengan Arsat. Pemuda itu menyapa, namun Dinan hanya membuang muka. Tidak ada senyum, tidak ada sapaan, hanya dingin yang membeku.

Lihat selengkapnya