Mantra Cinta Mengintai

Jagat Aripin
Chapter #12

Bukan Homo, Hanya Bingung

Arsat berjalan kaku melewati meja kerja Dinan. Langkahnya seperti robot yang kehilangan arah. Sementara Dinan pura-pura sibuk menatap layar, padahal matanya curi-curi pandang. Di balik sorot mata yang tenang, hatinya bergejolak, ingin sekali menatap wajah Arsat walau hanya sedetik.

Pemuda itu sempat berhenti. Menatap Dinan sejenak, ada sesuatu yang ingin diucapkan, namun bibirnya hanya menggertak udara.

"Kenapa sih kamu kok berubah?" gumamnya pelan.

Arsat pun kembali ke ruangan. Duduk dengan helaan napas panjang. Secangkir kopi sisa kemarin hanya menyisakan ampas, seperti perasaannya yang keruh. Jari-jarinya menggeliat gelisah.

"Haduh!"

Arsat mengacak-acak rambut. Seolah rambut itu bisa mengurai kusut di pikirannya. Tiba-tiba suasana kantor gaduh. Satu demi satu rekan kerja mulai panik. Suara riuh mulai menyesaki udara.

"Kenapa nih internet?"

"Putus, putus! Jaringan mati!"

"Waduh! Deadline belum kelar malah kayak gini!"

Arsat berdiri, berusaha menangkap suara paling masuk akal di antara keributan. Bahar menghampirinya.

"Arsat! Coba cek! Kenapa internet mati?"

"Baik, Pak."

Arsat segera menuju ruang server, mengecek satu per satu kabel LAN. Matanya memeriksa lampu indikator—hijau, tapi tak terhubung. Ia membuka ponsel, mencoba menyambung ke WiFi, tapi nihil. Akhirnya ia menelpon penyedia layanan internet.

Tuuttt…

"Halo, Mbak. Di kantor kami sedang mengalami gangguan jaringan. Peralatan oke, kabel pun aman. Ada gangguan pusat ya?"

"Benar, Pak. Saat ini ada perbaikan jalur dekat wilayah kantor Bapak. Untuk durasi pemulihan, kami belum bisa pastikan."

Arsat menutup telepon dengan wajah kecut seraya berlari ke ruangan Bahar.

***

Tok-tok!

"Masuk!"

Arsat melangkah masuk dengan napas tertahan. Matanya langsung menangkap Sabil yang duduk membungkuk di hadapan Bahar, seperti anak sekolah yang baru saja tertangkap basah. Suasana ruang itu terasa tegang bak udara enggan bergerak.

Arsat menunduk perlahan lalu membuka suara dengan nada hati-hati.

"Maaf, Pak. Saya mau melapor."

Suasana seketika hening. Hanya detak jam dinding yang terdengar, berdetak pelan namun menambah tekanan. Bahar menatap tajam tanpa banyak bicara, membuat tengkuk Arsat terasa panas.

"Maaf Pak, menurut laporan ada gangguan dari pusat. Belum jelas sampai kapan."

Bahar menghela napas berat, menatap laporan di tangannya. "Perusahaan model apa itu? Gak bisa kasih info pasti!"

Arsat menggaruk kepala, gugup. "Saya juga nggak dikasih info detail, Pak."

"Hem... ya sudah, keluar!"

Arsat berbalik badan.

***

Langkahnya baru saja menapak satu-dua ketika suara itu memanggil, menembus udara seperti petir di siang sunyi.

“Arsat!”

Suara itu milik Sabil—tegas, namun menyimpan gelombang resah. Ia menyusul cepat dan dalam sekejap mereka berjalan berdampingan menyusuri lorong yang sepi.

Langkah kaki mereka bergema pelan di lantai laksana setiap tapaknya memikul beban tanya yang belum sempat dijawab. Cahaya lampu di atas kepala meredup redup, melemparkan bayangan panjang ke dinding seakan ikut mengawasi percakapan yang belum dimulai.

Udara di antara mereka terasa berat. Tak ada angin, tapi ada sesuatu yang menggigil dalam dada.

Lihat selengkapnya