Johan melintas—langkahnya ringan, penuh percaya diri laksana model iklan parfum yang tersesat di kantor. Gerak-geriknya mengalir seolah lantai adalah catwalk pribadi. Udara pun harus memberi ruang untuk egonya lewat.
Senyumnya terukir seperti biasa—setengah ramah, setengah sok tahu. Matanya menyapu ruangan berharap ada yang terpukau atau paling tidak melirik kagum. Gaya khas pria yang merasa wajah pas-pasan bisa disulap jadi pesona, asal percaya diri cukup tinggi.
Ia melangkah bak pangeran modern yang yakin dunia bersedia jatuh cinta padanya. Sayangnya, dua wanita di dekat sana justru menatapnya seperti menatap notifikasi spam yang tak diinginkan.
“Hei!” sapanya ceria, tangan melambai seperti aktor dalam iklan sampo.
Namun yang didapat hanyalah tatapan dingin dari Dinan dan Sabil—dua sorot mata tajam yang seolah bisa memecahkan cermin. Wajah mereka datar, sinis, seperti menatap kemunculan iklan yang tak mereka pesan.
Padahal, Johan bukan pria sembarangan. Wajahnya lumayan, postur lumayan, senyum juga lumayan, tetapi di mata dua wanita itu, lumayan pun tak cukup.
Apa yang bagi Johan sekadar sapaan hangat, bagi mereka hanyalah gangguan visual.
Bagi Dinan dan Sabil, kejadian itu berlalu seperti angin malas yang menyibak rambut. Namun bagi Johan, sapaan tanpa balasan adalah tamparan tanpa telapak.
***
Beberapa menit setelah Johan menghilang, Dinan merasakan perutnya mencubit. Kepalanya berat. Bukan sekadar pusing biasa, tetapi seperti ada awan kelabu menggulung di balik ubun-ubun.
"Kenapa tiba-tiba kepala gua pusing ya? Aduh!" keluh Dinan, menekan keningnya.
Sabil sigap menoleh. “Kenapa, Din?”
Dinan bergeming. Matanya sayu, bibirnya pucat. Berusaha bicara, meski yang keluar hanyalah satu kalimat lemah.
“Kepala gua pusing, perut rasanya mual-mual.”
Huak! Huwek!
Dinan menutup mulut sembari lari ke belakang, langkahnya terburu dan goyah seperti dihantui bayangan.
Tak lama kemudian ia kembali. Wajahnya sedikit pucat sedangkan tangan menekan perut.
"Lu habis makan apa sih? Udah makan belum?" tanya Sabil dengan nada cemas.
"Gua cuma sarapan seperti biasa, nggak ada yang aneh," jawab Dinan tenang, meski tubuhnya tak sepenuhnya sepakat.
“Lu sakit kali. Mending pulang aja, nanti gua izinin sama Pak Bahar,” saran Sabil.