**
“Tapi kenapa?”
"Kenapa aku harus melakukan kemauan Maharati?"
"Untak apa Dunum?"
"Untuk apa..???"
Arif Badra tidak habis pikir dengan semua yang kini terjadi di antara dirinya dan Danum Badia.
“Untuk aku, dan juga untuk dirimu sendiri, Arik Badra!” jawab Danum Badia dengan suara lembut namun tetap terdengar tegas dan pasti.
“Sumpah, aku tidak mengerti semua ini. Aku sungguh tidak menduga, hal seperti ini bisa terjadi dalam hidupku, Danum Badia. Sejak dulu, impianku hanya ingin menikahi dirimu! Hanya kau satu satunya yang ada di hati ini. Selama ini dan sampai kapan pun, aku hanya mencitaimu, Danum Badia,” ucap Arik Badra sungguh-sungguh.
“Arik Badra, coba dengarkan aku baik-baik."
“Kini, kau telah masuk dalam perangkap yang selama ini telah disimpul rapi oleh kakakku, Maharati.”
“Kau kini telah berada di dalam perangkap yang dipasang Maharati.”
“Sama seperti sebuah jerat di dalam hutan terlarang, jika kau menginjak tali itu, dan kau menggelepar atau berusaha melawan, maka jerat itu akan semakin kuat mengikat dirimu. Tapi jika kau berusaha tetap tenang, berdiri tenang di dalam lingkaran jerat itu, tanpa menyentuh sedikit pun jerat itu, dan berpura-pura tidak tahu akan adanya jerat itu, maka kau akan bisa mengeluarkan dirimu dari tali kekang itu perlahan-lahan,” jelas Danum Badia.
“Jadi, apa maksudmu aku harus pasrah pada keadaan saat ini?”
“Lalu aku harus menerima Maharati begitu saja menjadi istriku?”
“Apakah kau pikir aku ini laki-laki yang tidak berpendirian?”
“Tidak memiliki prinsip-prinsip dalam hidup?”
“Atau, apa kau pikir aku laki-laki pengecut?”
“Apa kau pikir aku akan diam saja dan pasrah seperti burung Beo untuk dijadikan Maharati sebagai mainan untuk memuaskan hasratnya yang serakah?”
Arik Badra merasa sedikit kesal atas sikap yang ditunjukkan Danum Badia. Seolah-olah Danum Badia tidak ingin memperjuangkan ikatan cinta mereka bersama-sama seperti yang diinginkannya. Hatinya berkecamuk, antara marah pada Maharati sekaligus kecewa pada kepasrahan Danum Badia. Di lain sisi, hati bertanya-tanya, sehebat apa daya magis yang tersimpan dalam ‘Agit’ yang telah dikalungkannya di leher Maharati malam itu?
“Tapi, aku tentu tidak akan menyerah pada keadaan. Sehebat apa pun ilmu perdukunan yang dimiliki oleh Purok Mamut dan Maharati, aku tidak peduli, dan aku tidak takut!” gumam Arik Badra dalam hati.
“Aku harus mengambil tindakan. Mengakhiri semua permainan yang dilakukan Maharati ini!” titah Arik Badra pada dirinya sendiri.
Lagi pula, sejak awal Arik Badra telah memikirkan, seandainya pun dia ingin menikahi kekasihnya, Danum Badia—tentu saja tidak mutlak bagi Arik Badra untuk mengikuti ritual adat dalam budaya suku leluhur Danum Badia. Sebab, bagi adat-budaya orang tua Arik Badra, laki-lakilah yang harus membawa perempuannya. Bukan sebaliknya. Meski Arik Badra menyandang nama khas lokal masyarakat Kalimantan, dia tetaplah putera keturunan Sumatera. Ibunya memang sengaja memberi nama khas untuk Arik Badra sebagai pengingat bahwa dirinya lahir di Negeri Borneo.
Arik Badra tahu persis, bahwa kedua orangtuanya tentu tidak akan menerima begitu saja jika seandainya dia harus menikah dengan Danum Badia dengan menggelar resepsi pernikahan sesuai adat-istiadat suku di tanah rantau mereka itu. Sebab sebagai keturunan asli masyarakat Sumatera yang menganut sistem patrilineal, ayah dan kakek dari Arik Badra, merupakan orang-orang yang sangat mengagungkan adat budaya lokal mereka juga di Sumatera.