
**
“MATI KAU…!!”
“MAMPUS KAU…!!”
“DASAR PEREMPUAN TIDAK TAHU MALU…!!”
Maharati merasa puas melihat pemandangan yang disajikan Terek Lamiang di dalam Mangkuk Putih berisi air tawar seribu yang mereka saksikan bersama-sama di dalam ruangan khusus Terek Lamiang. Aroma dupa masih menguar mengisi seluruh ruangan itu. Terek Lamiang sesekali merapalkan mantra-mantra dalam bahasa dan dialek daerah yang tidak begitu dimengerti Maharati sembari memutar-mutar Tengkorak Kepala yang merupakan salah satu media ritualnya.
“Itu jauh lebih baik! Heee…heee…heee…” Terek Lamiang terkekeh melihat perempuan yang mengganggu Arik Badra itu kini terpental dan kepalanya terlihat membentur tiang-tiang besi pada tangga di rumah milik orangtua Arik Badra, sebagaimana tadi Terek Lamiang membenturkan Tengkorak Kepala di tanggannya itu pada sebuah batu di dalam ‘Panguyu’.
“Perempuan sundal seperti itu lebih pantas dijadikan tumbal! Cuuiiihhh…” ucap Terek Lamiang lalu meludah pada sebuah batok tempurung kelapa di dekatnya.
Terek Lamiang merasa lega, akhirnya mereka bisa menemukan tumbal untuk menggantikan cucunya, Danum Badia. Tadi malam, Terek Lamiang dengan tegas menolak saat Maharati mengutarakan niatnya untuk menjadikan Danum Badia sebagai tumbal untuk ritual gaib yang ingin mereka lalukan demi visi-misi rahasia Maharati terhadap Arik Badra.
“Bagaimana pun, Danum Badia adalah darah danging Purok Mamut juga. Para leluhur tidak menerima jika kau ingin menjadikan adik kembarmu sebagai tumbal untuk ini!” ucap Terek Lamiang menolak dengan tegas saat Maharati mulai memikirkan sebuah rencana jahat untuk adik kembarnya itu.
“Jadi siapa yang bisa dijadikan tumbal untuk ini, Terek Lamiang?” tanya Maharati harap-harap cemas.
“Apa kau pernah punya musuh di sekolahmu? Atau mungkin orang yang pernah berbuat jahat kepadamu sebelumnya?” tanya Terek Lamiang.
Maharati menggeleng dan dia mengaku sejauh ini tidak punya musuh. Dia terbilang berteman baik dengan beberapa sahabatnya di kampus. Dan seingatnya, belum ada yang pernah berani berbuat jahat kepadanya.
Semalaman bahkan hingga subuh Maharati dan Terek Lamiang memikirkan siapa kira-kira yang pantas dijadikan tumbal untuk ritual gaib kali ini? Hingga saat menjelang dini hari, dari dalam Mangkuk Putih berisi air tawar seribu dan dengan kemampuan Terek Lamiang menerawang, ada aura negatif yang mendekati rumah orangtua Arik Badra—yang sejak kemarin mereka intai lewat media gaib itu. Dan saat itulah, melalui kekuatan indera keenam dan ilmu-ilmu sihirnya, Terek Lamiang melihat Naira dan rencana busuk di hatinya untuk Arik Badra, calon suami Maharati.
“Tidak lama lagi, perempuan itu akan dibawa ke sebuah Rumah Sakit di kota, tidak jauh dari tempat tinggalnya! Sekarang katakan pada ayahmu, agar orang suruhannya segera mengambil darah perempuan itu tepat tengah malam sebelum Bulan Merah hilang nanti malam!” ucap Terek Lamiang kepada Maharati.
**
Sementara di rumah kediaman orang tua Arik Badra, pagi menjelang siang itu terjadilah keributan hebat antara Arik Badra dengan ayah Naira. Di depan para tetangga yang lain, Ayah Naira menuduh Arik Badra telah menodai puterinya dan mengancam akan membawa Arik Badra ke ranah hukum! Tentu saja Arik Badra tidak gentar sedikit pun dengan ancaman ayah Naira, sebab Arik Badra benar-benar tidak menyentuh Naira sejengkal kuku sekalipun.
“Om, tidak bisa menuduhku sembarangan! Apalagi Om tidak punya bukti apa pun!” ucap Arik Badra dengan tegas saat ayah Naira marah padanya.